Posted by : Unknown
Minggu, 10 Maret 2013
Oleh: Muhammad Baiquni Syihab
A.
Lahirnya Ekonomi Islam
Bagaimanapun
ekonomi Islam bersumber dari sumber-sumber hukum Islam. Sedangkan sumber hukum
Islam terbatas hanya pada al’Qur’an, Hadits Nabi Saw dan Ijma Shahabat yang
tentu sudah tidak ada lagi tambahannya sejak periode generasi Shahabat
Rasulullah Saw berakhir. Artinya, sistem ekonomi Islam sudah ada dan
dipraktekkan sejak periode-periode saat sumber-sumber hukum Islam tersebut
masih pada proses turunnya.
Dapat dipastikan telah dipraktekkan, sebab ini terkait masalah
hukum wajib dan haram, hal yang mustahil apabila di periode lahirnya sumber
hukum Islam terjadi perkara yang haram diwajibkan dan perkara yang wajib justru
diharamkan sedangkan Allah dan RasulNya membiarkannya. Artinya sistem ekonomi
Islam sudah terbentuk, hanya saja masih tersebar dalam ayat al-qur’an dan matan
hadits Nabi yang belum terstruktur dalam menggambarkan sebuah sistem ekonomi
Islam.
Namun berbeda dengan Ilmu ekonomi Islam, yang
perkembangannya bisa saja terus bertambah dan berlanjut hingga akhir umur dunia
ini. Sebab sumber dari ilmu ekonomi Islam bukan hanya berasal dari
sumber-sumber hukum Islam yang empat semata, melainkan juga bisa berasal dari
selain itu. Dengan demikian ilmu ekonomi yang bukan berasal dari Islam bisa
diadopsi menjadi Ilmu ekonomi Islam, sepanjang tidak bertentangan dengan asas
halal-haram dalam Islam.
Maka dalam sejarah lahirnya ekonomi Islam, kita
perlu memetakan mana periode-periode saat sistem ekonomi Islam mulai ada dan
berakhir, dengan periode-periode saat ilmu ekonomi Islam mulai ada dan
berakhir. Mengingat sifat keduanya yang berbeda satu sama lain.
1.
Ekonomi Islam Abad 7 M/1 H – 12 M/6 H
Tidak disangkakan lagi bahwa lahirnya sumber
hukum dari sistem ekonomi Islam ada pada periode Rasulullah Saw hingga periode
Ali bin Abi Thalib, sebab periode Ali adalah periode shahabat Nabi yang
terakhir dimana para ulama menyebutnya sebagai akhir periode Khulafaur Rasyidin (Khalifah-Khalifah
yang lurus). Periode shahabat adalah periode yang termasuk sumber hukum Islam
yang ketiga dari sistem ekonomi Islam, yaitu Ijma Shahabat Nabi. Namun juga
tidak dapat dipungkiri apabila Ilmu ekonomi Islam bisa lahir pada
periode-periode tersebut.
a.
Masa Rasulullah Saw
Masa Rasulullah adalah masa saat dua sumber
hukum Islam turun, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Praktek ekonomi yang sesuai dan
tidak sesuai dengan Islam pada masa tersebut akan dijelaskan dan ditetapkan,
baik itu pada al-qur’an maupun hadits Nabi Saw. Penjelasan dan ketetapannya ada
yang memiliki alasan hukum (illat)
dan ada pula yang tidak.
Penjelasan dan ketetapan ekonomi yang tidak
memiliki alasan hukum adalah khusus untuk kasus itu saja. Adapun penjelasan dan
ketetapan yang memiliki alasan hukum adalah dengan maksud agar apabila ada
fakta ekonomi baru di kemudian hari yang secara teks tidak terdapat pada
sumber-sumber hukum Islam yang tiga, maka fakta ekonomi baru tersebut bisa
dianalogikan (diqiyaskan) dengan
penjelasan dan ketetapan tersebut dengan menyamakan alasan hukumnya (illat). Sehingga fakta baru ekonomi
tersebut tetap memiliki status hukum menurut Islam walaupun al-Qur’an, Hadits
dan Ijma Shahabat sudah tidak akan bertambah lagi.
Jenis-jenis zakat harta (maal) adalah contoh ketetapan sumber hukum Islam yang tidak
memiliki alasan hukum, sehingga jenis-jenis zakat harta hanya pada
barang-barang yang telah dijelaskan saja. Apabila dikemudian hari dan di
wilayah lain ditemukan bentuk harta lain, maka itu tidak termasuk harta yang
wajib dizakati.[1][i] Seperti zakat ternak hanya tersebut dalam
nash pada sapi, kerbau, unta dan
kambing, sehingga apabila ada seorang muslim yang menternak binatang byson,
kangguru dan zebra di wilayah Amerika maka ternaknya tidak dikenai zakat. Bukan
karena byson, kangguru dan zebra tidak terdapat di wilayah Arab, dan bukan pula
karena orang Arab zaman Nabi Saw tidak pernah melihat binatang-binatang
tersebut, melainkan karena kehendak syari’
dalam menetapkan harta zakat ternak hanya pada ternak-ternak tertentu saja.
Inilah yang dimaksud dengan penjelasan dan ketetapan ekonomi oleh sumber hukum
Islam yang tidak memiliki alasan hukum.
Adapun penjelasan dan ketetapan ekonomi yang
memiliki alasan hukum adalah seperti dalam konsep kepemilikan umum dalam sistem
ekonomi Islam. Hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw mengambil alih
kembali tambang garam yang sudah diberikan kepada Abyadh bin Hamal setelah
beliau mengetahui sifat barang tambang tersebut seperti air mengalir,
menunjukkan bahwa hadits ini mengandung alasan hukum. Yaitu karena jumlahnya
yang besar dengan diumpamakan bagai air yang mengalir, itu adalah alasan hukum
barang tambang menjadi berstatus milik umum. Artinya apabila dikemudian hari
dan atau di wilayah lain ditemukan barang tambang yang secara teks tidak
terdapat dalam nash, namun memiliki
alasan hukum yang sama, yaitu sama-sama seperti air yang mengalir (banyak) maka
status hukumnya dapat disamakan, yaitu berstatus hukum kepemilikan umum.
Seperti minyak bumi, batu bara, gas alam, tambang emas, nikel, timah dan lain
sebagainya, apabila memiliki sifat seperti air yang mengalir, maka status
kepemilikannya adalah milik umum, tidak dibolehkan baik individu maupun negara
memilikinya, menguasainya dan mengambil keuntungan darinya.
Adapun dalam pemanfaatan kepemilikan (tasyarruf fil milkiyah) dan
pendistribusian harta (tauzi’u tsarwah)
yang termasuk dalam sistem ekonomi Islam, di masa Rasulullah Saw al-qur’an dan
hadits juga telah menetapkannya.
Pemanfaatan kepemilikan telah banyak dijelaskan
dalam kitab-kitab fiqih ulama yang bersumber dari kitab-kitab hadits para
perawi hadits. Seperti pembahasan seputar kewajiban membayar zakat, memberi
shodaqoh, hibah, wasiat dan lain sebagainya, juga larangan dari sifat bukhl (pelit), isrof (berlebihan), risywah
(suap) dan lain sebagainya. Juga pembahasan seputar hukum perdagangan atau jual
beli, syirkah (kerjasama bisnis), syina’ah (industri), az-zara’ah (bertani) dan lain
sebagainya, juga larangan terhadap praktek qimar
(judi), riba, tadlis fil bai’
(menyembunyikan cacat dalam jual beli), ghabn
fahisy (penipuan) dan lain sebagainya. Hukum-hukum demikian adalah
hukum-hukum Islam mengenai pemanfaatan kepemilikan, baik pembelanjaan harta (infaq) maupun pengembangan harta (tanmiyah).
Pendistribusian harta juga telah ditetapkan di
masa Rasulullah saw, contohnya yaitu dalam pendistribusian harta zakat,
al-qur’an telah menetapkan dalam surat at-Taubah: 60 bahwa zakat hanya pada
delapan golongan dari masyarakat muslim, dan tidak dibolehkan diberikan pada
selain itu. Apabila pemungut zakat ditetapkan pelakunya adalah negara
sebagaimana terdapat dalam at-Taubah: 103, maka tentu pendistribusi harta
tersebut juga tidak lain adalah negara.
b.
Masa Khulafaur Rasyidin
Masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah-Khalifah yang
lurus) adalah masa saat pemerintahan Islam dipimpin secara bergantian oleh Abu
Bakar Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib selama
kurang lebih 30 tahun pasca wafatnya Rasulullah Saw. Masa ini juga termasuk
masa dimana sumber hukum Islam masih ada, yaitu sumber hukum Islam yang ketiga,
Ijma Shahabat. Artinya, sumber hukum dari sistem ekonomi Islam juga masih ada.
Dimana kesesuaian dan ketidaksesuaian praktek ekonomi pada masa itu akan
dijelaskan dan ditetapkan oleh para shahabat Nabi Saw yang akan kita ketahui
melalui kisah-kisahnya.
Dikisahkan dengan mashur bahwa Abu Bakar
memerangi masyarakat dari kaum muslimin yang tidak mau membayar zakat kepada
negara, walaupun sebenarnya mereka masih mau mendirikan sholat. Menurut Abu
Bakar, sholat dan zakat tidak dapat dipisahkan, sehingga pembangkangan terhadap
salah satunya tidak dapat ditolerir. Hal ini dibenarkan dan tidak ditentang
oleh para shahabat yang lain, sehingga peristiwa ini menjadikannya sebagai Ijma
Shahabat. Zakat dihimpun oleh negara dan didistribusikan juga oleh negara.[1][ii]
Pada masa Rasulullah Saw dan Abu Bakar, sistem
ekonomi Islam telah berjalan. Sedangkan contoh ilmu ekonomi Islam belum tampak
daripadanya. Baru pada masa Umar bin Khathab contoh dari ilmu ekonomi Islam
mulai berkembang. Yaitu dibentuknya Baitul Mal (kantor penyimpan kas dan
kekayaan negara) dengan Diwan-diwannya pada tahun 20 H. Hal semacam ini belum
pernah ada di masa pemimpin Islam sebelumnya.[1][iii]
Diwan sebagaimana dikatakan al-Mawardi adalah
tempat menyimpan apa-apa yang berhubungan dengan negara, seperti daftar
pekerjaan dan proyek negara, daftar kekayaan negara, siapa-siapa yang
bertanggung jawab terhadap keduanya, dan daftar tentara dan para pegawai
negara. Diwan termasuk dalam ilmu ekonomi Islam sebab hal ini adalah perkara
tata cara teknis dalam urusan harta
barang dan jasa. Sehingga ilmu tentang diwan bisa diadopsi menjadi ilmu ekonomi
Islam walaupun ilmu ini sebenarnya diadopsi dari negara Persia dan Romawi yang
tentu pada saat itu bukan negeri muslim.
Dikisahkan bahwa kas negara pada masa Umar
selalu habis dibagikan pada masyarakat dalam sehari dalam setahun. Hal ini
tertera pada surat yang dikirimkan Umar kepada Abu Musa al-Asy’ari: “amma ba’du, ketahuilah bahwa dalam
sehari dalam setahun, tidak tersisa sedirham pun kas di Baitul Mal ketika aku
mengeceknya, sehingga Allah mengetahui bahwa aku sudah memenuhi hak
masyarakat”. Abu Ubaid pun berkata: “jika datang hasil kekayaan kepada negara
di pagi hari, maka tidak sampai tengah hari Umar telah habis membagikannya”.
Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Sa’ad bahwa Umar pernah menulis surat kepada
Hudzaifah pegawainya, “berikanlah mereka (setiap warga) bagiannya dan
rezekinya”. Namun dalam surat balasannya Hudzaifah mengatakan, “kami sudah
memberikan mereka semua bagiannya, akan tetapi harta tersebut masih banyak
tersisa”. Menerima laporan itu Umar kemudian menulis surat lagi, “harta itu
adalah hasil fa’i, mereka sendiri yang telah diberikan oleh Allah, dan bukan
milik Umar atau keluarganya. Bagikan lagi harta sisa itu kepada mereka!”.
Demikian sikap Umar terhadap harta negara. Sejarah juga telah menulis, bahwa
Umar selalu melakukan hal ini sepanjang masa pemerintahannya.
Dikisahkan pula oleh Abu Yusuf bahwa Umar pernah
melewati kakek tua renta dengan matanya yang sayu yang meminta-minta di pintu
gerbang suatu daerah, lalu Umar menepuknya dari belakang sambil bertanya: “dari
ahli kitab mana kamu?”. Orang itu menjawab: “dari Yahudi”. Umar kembali
bertanya: “apa yang menyebabkanmu kesini?” orang itu menjawab: “aku kesini
ingin meminta bagian jizyah, karena kebutuhanku dan umurku”. Lalu Umar mengajaknya
ke Baitul Mal dan memerintahkan penjaga Baitul Mal untuk memberikan sesuatu
kepada orang tua itu sambil berkata: “lihatlah orang tua ini, demi Allah kami
tidak tega jika masa mudanya kami memakan hasil jerih payahnya (memungut
jizyah), dan ketika ia sudah tua kita tidak mengasihaninya. Dan bahwasanya
zakat itu adalah untuk orang-orang fakir dan miskin. Orang fakir adalah
orang-orang Islam, sedangkan orang tua ini termasuk orang miskin dari ahli
kitab, maka berikanlah ia jizyah”.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa pos-pos
pemasukan dan pos-pos pengeluaran negara tidak lain berdasarkan ketentuan Allah
dan RasulNya menurut jenis kepemilikannya dalam sistem ekonomi Islam, sebab
bila tidak tentu akan mendapat penentangan dari shahabat Nabi yang lain, yang membuatnya
tidak terjadi ijma (kesepakatan).
Umar juga membuat sistem ekonomi Islam bekerja
dengan baik, dengan mewajibkan perkara-perkara ekonomi yang wajib, juga
mengharamkan perkara-perkara ekonomi yang haram. Seperti mewajibkan agar kaum dhuafa dinafkahi oleh
keluarga-keluarganya, apabila tidak maka Umar akan menghukum dan mempidanakan
keluarganya mulai dari yang terdekat. Apabila kaum dhuafa tersebut tidak memiliki kerabat maka Baitul Mal akan
mendaftarnya sebagai orang-orang yang ditanggung biaya hidupnya. Sehingga tidak
ditemukan pada masa Umar orang yang mati atau sakit karena kelaparan.
Umar juga mengharamkan riba, hingga dikisahkan
bahwa Umar mengusir keluar Jazirah Arab warga negaranya dari suku Yahudi Fidak,
Yahudi Khaibar dan Nasrani Najran disebabkan karena mereka memakan riba. Hal
ini karena mereka melanggar ketentuan Rasul Saw dahulu terhadap non muslim
apabila ingin hidup berdampingan dengan kaum muslim, yaitu tidak boleh
menjalankan roda ekonomi dengan jalan riba.
Adapun pada masa Utsman, tidak banyak informasi
aktivitas perekonomian yang bisa didapat dari sejarahnya, sebab referensi
sejarah lebih banyak fokus menceritakan kisah perpolitikan. Namun demikian
kisah perekonomian juga tetap digambarkan walaupun dalam garis globalnya, yaitu
berlimpahnya pemasukan negara yang berdampak pada rizki kaum muslim yang turut
berlimpah pula. Demikian pula tidak jauh berbeda dengan masa Ali bin Abi
Thalib.
c.
Masa Bani Umayyah
Periode sumber hukum dari sistem ekonomi Islam
telah berakhir. Sebab periode bani Umayyah adalah periode dimana seringnya
suatu relitas ditentang oleh sebagian dari shahabat Nabi, sehingga hampir tidak
pernah terjadi ijma shahabat. Tinggal masanya pemerintahan ini melanjutkan
berjalannya roda sistem ekonomi Islam yang sudah digelindingkan para
pendahulunya, walaupun perputarannya terkadang keluar masuk pada jalurnya.
Pada masa ini juga adalah masa dimana ilmu
ekonomi Islam berkembang. Mata uang dinar emas yang menjadi alat transaksi
ekonomi sejak lama dengan gambar raja Romawi didalamnya, pada masa ini yaitu
masa Abdul Malik bin Marwan dicetak dengan mencirikhaskan praktek ekonomi
Islam. Yaitu mencetak dinar dengan kepingan bertuliskan kalimat tauhid Qul huwallaahu ahad di satu sisi dan
sisi lain Laa ilaaha illallah, adapun
dalam dirham dengan tulisan Muhammadun
rasuulullaahi arsalahu bil hudaa wadiinil haq. Pada masa ini juga dijadikan
timbangan dirham sesuai dengan hitungan zakat. Dengan maksud agar tidak sulit
dalam perhitungannya, yaitu menjadikan 1 dirham sama dengan 6 dawaniq, sehingga
10 dirham sama dengan 7 mitsqal.[1][iv]
Pada masa Abdul Malik bin Marwan juga dibuat
kantor yang secara khusus mengurusi Kharaj
(pajak atas tanah taklukkan), dan kantor keuangan yang bertugas menuliskan
hitungan dan angka-angka, nama-nama tanah, besarnya hasil panen dan besarnya
pajak.
Adapun masa Umar bin Abdul Aziz, yaitu Khalifah
ketujuh dari bani Umayyah adalah masa ekonomi Islam menjadikan masyarakat
semuanya kaya. Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Dalail an-Nubuwwah dari Umar bin Asiid ia berkata, “Umar bin Abdul
Aziz memerintah hanya selama 30 bulan. Dan demi Allah disaat ia meninggal, maka
sungguh orang ini telah memberikan kepada kami (negara) harta atau devisa yang
sangat banyak. Dan saat pintu-pintu mereka diketuk untuk diberi zakat mereka
malah menolaknya dan mengatakan, “Allah telah mencukupi kami dengan
karunianya”.
Masa Umar bin Abdul Aziz juga masa perbaikan
dari penyimpangan praktek ekonomi Islam yang dilakukan para pendahulunya.
Seperti Umar menghapus jizyah (pajak atas warga Khilafah yang non muslim) yang
ditarik dari muallaf, yaitu orang-orang yang baru masuk Islam. Hal ini pernah
dipraktekkan oleh gubernur Abdul Malik di wilayah Irak, yaitu al-Hajjaj. Hal
ini dilakukan al-Hajjaj sebab pendapatan negara dari jizyah berkurang
disebabkan banyaknya non-muslim yang masuk Islam. Namun al-Hajjaj memandang
bahwa itu merupakan usaha non muslim dalam menghindari jizyah. Pada masa Umar,
jizyah terhadap muallaf dihapuskan.
d.
Masa Bani Abbasyiah
Sebagaimana masa bani Umayyah, masa bani
Abbasyiah juga masa dimana roda dari praktek sistem ekonomi Islam terkadang
keluar dan masuk pada relnya. Oleh karena itu masa Abbasyiah adalah masa dimana
banyak lahir para ulama sekaligus ekonom muslim yang memantau dan menjaga agar
sistem ekonomi Islam tetap berjalan diatas relnya, sekaligus merumuskan
ilmu-ilmu ekonomi Islam dengan lebih spesifik dari masa-masa sebelumnya.
Diantaranya yang tersohor adalah Abu Yusuf, al-Syaibani, Abu Ubaid, Yahya bin
Umar, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Syatibi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun.[1][v]
Abu Yusuf adalah tokoh ekonom muslim yang hidup
diawal pemerintahan Islam bani Abbasy yang lebih fokus terhadap keuangan
publik. Hingga beliau menulis sebuah kitab yang khusus membahas pajak atas
tanah-tanah yang telah ditaklukkan kaum muslimin, yaitu kita al-Kharaj. Dikisahkan pula bahwa beliau
pernah menentang penguasa yang mengendalikan dan menetapkan harga (tas’ir) atas barang yang berjenis
kepemilikan individu, sebab dalam pandangan beliau praktek ekonomi seperti itu
bertentangan dengan hadits Nabi Saw yang melarang penetapan harga pasar atas
barang.
Adapun al-Syaibani, beliau lebih banyak
membangun teori dan hukum ekonomi baik dalam sistem maupun ilmu ekonomi Islam.
Seperti beliau telah mendefinisikan arti kerja (al-kasb) dalam ekonomi Islam, yaitu sebagai cara untuk memperoleh
harta melalui berbagai cara yang halal. Artinya tidak bisa disebut bekerja
orang yang menggunakan cara haram dalam memperoleh harta. Al-Syaibani juga
mengklasifikasikan usaha-usaha perekonomian terbagi pada empat macam, yaitu
sewa-menyewa, perdagangan, pertanian dan perindustrian. Adapun klasifikasi
ekonomi modern hanya terdiri tiga macam, yaitu perdagangan, pertanian dan
industri.
Sedangkan Abu Ubaid sebagaimana Abu yusuf,
beliau ekonom muslim yang konsen terhadap dunia ekonomi hingga menulis kitab
fenomenal yang khusus membahas masalah harta kekayaan, yaitu kitab al-Amwal. Abu Ubaid juga mengakui dan
memandang bahwa konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam terbagi tiga, yaitu
kepemilikan individu, umum dan negara.
Abu Ubaid juga mengemukakan teorinya tentang uang (dinar dan dirham),
bahwa fungsi uang hanya dua, yaitu sebagai alat tukar dan standar nilai, tidak
ada yang lain. Berbeda dengan ekonomi Kapitalisme yang menyatakan selain
standar nilai dan alat tukar, uang juga berfungsi sebagai penyimpan kekayaan.
Menurut Abu Ubaid fungsi uang hanya dua yang telah tersebut diatas, sebab
penyimpan kekayaan sama saja dengan kanzul
maal (menyimpan uang tanpa tujuan konsumsi) yang dalam ekonomi Islam adalah
haram.
Adapun Yahya bin Umar menulis kitab Ahkam al-Suq, kitab pertama dalam dunia
ekonomi Islam yang membahas masalah hisbah
dan berbagai hukum pasar. Beliau menyatakan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi
dengan dua hal, pertama, hukum syara tentang perbedaan kesatuan timbangan dan
takaran perdagangan dalam satu wilayah. Kedua, hokum syara tentang harga gandum
yang tidak terkendali akibat pemberlakuan pembebasan fluktuasi harga, sehingga dikhawatirkan
dapat menimbulkan kemudharatan bagi konsumen. Dengan demikian kitab ahkam al-suq sebenarnya merupakan
penjelasan dari kedua hal tersebut.
Adapun al-Ghazali dan al-Syatibi, beliau lebih
cenderung menyusun rumusan teori yang bukan hanya untuk ekonomi aja, melainkan
juga rumusan teori tersebut juga untuk aktivitas hidup manusia lainnya selain
ekonomi. Beliau menjelaskan bahwa kesejahteraan dari suatu masyarakat
tergantung pada pencarian dan pemeliharaan maqashidu
syari’ah (tujuan syariah), yaitu untuk pemeliharaan agama (din), jiwa (nafs), keturunan (nasl),
harta (maal), dan akal (aql). Beliau juga merumuskan pelaksanaan
teori tersebut hendaknya mengikuti fiqih
aulawiyat (kaidah pengutamaan), yaitu mendahulukan yang bersifat dharuriyat kemudian hajiyat dan kemudian pada tahsiniyat.
Sedangkan Ibnu Taimiyah juga banyak merumuskan
teori-teori ekonomi. Seperti beliau merumuskan teori tentang price (harga) yang adil, dengan
mengistilahkannya dengan dua sebutan, yaitu kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl). Beliau mengatakan
“kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan
inilah esensi keadilan (nafs al-‘adl)”.
Selain itu beliau juga mengungkapkan teori ekonomi Islam yang lain, seperti
teori upah adil, teori laba adil dan banyak lagi teori ekonomi Islam lain yang
dirumuskan oleh ulama sekaligus ekonom brilian ini.
Adapun Ibnu Khaldun adalah cendekiawan muslim
yang keahliannya multi bidang, dari ekonomi, fiqih, ilmu alam, matematika dan
astronomi. Beliau hidup dikhir-akhir pemerintahan Islam yang dipimpin bani
Abbasy. Sebagaimana Ibnu Taimiyah, beliau juga banyak merumuskan teori ekonomi
Islam dalam kitab-kitab hasil karyanya, seperti dalam kitab muqaddimah. Beliau merumuskan teori produksi,
teori nilai, teori uang dan teori harga. Dalam teori uang beliau mengungkapkan
bahwa: “semua barang-barang lainnya terkena fluktuasi pasar, kecuali emas dan
perak”. Ini artinya beliau mengungkapkan bahwa standar mata uang yang baik dan
layak menjadi alat tukar tahan inflasi adalah standar logam, yaitu emas dan
perak.
2.
Ekonomi Islam Abad 13 M/7 H – 20 M/14 H
a.
Masa Bani Utsmani
Sebutan lainnya adalah Turki Utsmani, yang biasa
disebut bangsa Eropa sebagai Ottoman. Adalah pemerintahan Islam yang beribu
kota di bekas ibu kota kekaisaran Romawi Timur, Konstantinopel. Wilayahnya
terbentang dari barat Afrika bagian utara, jazirah Arab, Syam, Persia hingga
Eropa bagian timur. Tidak banyak perkembangan ilmu ekonomi Islam yang
dikisahkan dari sejarahnya, melainkan hanya cerita tentang keadaan ekonomi yang
melanda pemerintahan tersebut.
Dikisahkan oleh Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
dalam kitabnya yang berjudul Daulah
Utsmaniah ‘awamilut tahwidh wa asbabus suquth, bahwa kemakmuran, kejayaan
dan kestabilan ekonomi menghinggapi masyarakat yang bernaung dalam negeri
Utsmani diawal-awal pemerintahannya. Terutama saat dipimpin oleh Khalifah
Muhammad al-Fatih, kemakmuran dan kemudahan dalam sektor perdagangan di seluruh
negeri.[1][vi]
Masih dengan yang dikisahkan Ash-Shalabi, bahwa
keadaan ekonomi Turki Utsmani di periode akhir pemerintahannya justru terbalik
dengan saat-saat awal pemerintahannya. Diakhir-akhir waktu sebelum
keruntuhannya pemerintahan Utsmani mengalami kemunduran di segala bidang.
Terungkap pada kisah saat delegasi Yahudi, Theodore Hertzl meminta kepada
Sultan/Khalifah Abdul Hamid II (Khalifah terakhir Turki Utsmani) agar kaum
yahudi dibolehkan untuk menduduki tanah Palestina dengan menawarkan dengan
berbagai tawaran. Yaitu akan memberikan 20 juta lira untuk memperbaiki kondisi
ekonomi Turki, akan membantu membebaskan dari lilitan hutang-hutangnya dan
berbagai tawara lainnya. Namun demikian dikisahkan bahwa sultan menolak
mentah-mentah permintaan delegasi Yahudi tersebut dengan mengatakkan; “maka
biarkanlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka. Jika negeriku
tercabik-cabik, maka sangat mungkin mendapatkan negeri Palestina tanpa ada
imbalan dan balasan apapun”.
Demikianlah yang terjadi pada akhir periode
penerapan sistem ekonomi Islam. Tidak lama setelah itu pemerintahan Islam pun
resmi dibubarkan oleh penggagas negara baru Republik Turki, Musthofa Kamal
At-Turk.[1][vii]
b.
Lenyapnya Ekonomi Islam
Apabila ekonomi Islam dianggap sebagai sebuah
ilmu baru bagi suatu masyarakat, tentu diakibatkan karena periode sebelumnya
masyarakat tersebut tidak mengenal ekonomi Islam. Apabila periode sebelumnya
masyarakat tersebut telah mengenalnya, tentu ekonomi Islam tidak akan dianggap
sebagai suatu ilmu baru. Namun apabila ekonomi Islam dianggap sebagai hal baru,
bukan berarti ekonomi Islam tersebut belum pernah ada sama sekali di
periode-periode sebelumnya. Sebab bisa jadi hal itu diakibatkan karena ada
keterputusan informasi dan prakteknya di suatu periode tertentu. Sehingga
terdapat suatu generasi yang sama sekali tidak pernah melihat dan mendengar
wujudnya, sehingga tidak ada yang bisa disampaikan pada generasi setelahnya
yang membuatnya terus berkesinambungan. Dan inilah yang terjadi pada diri
ekonomi Islam. Ekonomi Islam pernah ada, pernah dipraktekkan dan pernah jaya disuatu
periode tertentu.
Lenyapnya ekonomi Islam pada periode sebelum ini
seiring dengan lenyapnya sistem Islam yang menaunginya. Kekhilafahan Islam bani
Utsmani tercatat runtuh pada 3 Maret 1924 dengan diproklamirkan sistem
kenegaraan yang baru, Republik Turki. Sejak saat itu tidak ada lagi penerapan
ekonomi Islam sebagai sebuah sistem. Yang ada hanya penerapan ekonomi Islam
bagi individu masyarakat yang ingin menerapkan untuk dirinya saja. Namun
demikian tidak dapat memaksakan agar orang lain juga menerapkan sebagaimana
yang ia terapkan, sebab saat itu hingga saat ini ekonomi Islam bukanlah suatu
sistem ekonomi yang memaksa suatu masyarakat untuk menerapkannya. Berbeda
tentunya dengan saat ekonomi Islam sebagai sebuah sistem ekonomi yang
diterapkan sebelum saat keruntuhan sistem Islam yang menaunginya. Dimana
masyarakat dengan rela maupun tidak, akan tetap menerapkan ekonomi Islam, sebab
ekonomi Islam saat itu adalah sebuah sistem ekonomi yang memaksa. Sebagaimana
sistem ekonomi Kapitalisme saat ini yang juga memaksa.
3.
Ekonomi Islam Abad 20-21
M/14-15 H
a.
Lahirnya Kembali Ekonomi Islam
Tidak dapat dipungkiri, setelah berpuluh tahun
masyarakat Islam hidup tanpa ekonomi Islam sebagai sebuah sistem ekonomi,
kerinduan untuk berpraktek ekonomi dengan cara Islam mulai merasuk kesetiap
dada orang Islam. Bukan hanya sekedar karena ekonomi Kapitalisme tak mampu
memberikan rasa adil, tak mampu menyejahterakan masyarakat, dan semakin
memperlebar jarak antara yang kaya dan yang miskin. Melainkan juga karena
orientasi kehidupan akherat membuat orang Islam terdorong untuk berekonomi
dengan cara yang bisa menghantarkannya pada surga Allah dan menjauhinya dari
siksa neraka.
Kemunculan kembali isu ekonomi Islam lebih
banyak dipengaruhi karena kecintaan masyarakat Islam terhadap praktek ekonomi
yang diridhoi oleh Allah dan RasulNya. Terbukti pada kasus lain, seperti
penggunaan jilbab, dimana pasca keruntuhan Khilafah Turki Utsmani pakaian
jilbab dilarang untuk digunakan oleh rakyat Turki, namun belakangan pakaian
bercirikhaskan Islam itu mulai banyak yang menggunakannya kembali. Termasuk di
Indonesia, kita dapat melihat perbedaanya antara tahun 1970-an dengan
tahun-tahun sekarang. Ini menunjukkan kerinduan terhadap praktek kehidupan
dengan cara yang diridhoi Allah dan RasulNya mulai kembali dirindukan.
Sejarah mencatat bahwa bibit-bibit sistem
ekonomi Islam mulai bangkit kembali dan menampakkan tunasnya tidak lama setelah
keruntuhannya, yaitu diakhir abad 20 telah mulai diselenggarakan muktamar dan
seminar ekonomi Islam diberbagai tingkat, baik lokal suatu daerah maupun
tingkat internasional. Sebagai titik awal dari kembalinya ekonomi Islam.
Demikian catatan sejarah:[1][viii]
1) Muktamar Ekonomi Islam Internasional yang pertama, di Universitas
Malik bin Abdul Aziz, Jeddah, pada tahun 1976.
2) Muktamar Bank Islam pertama di Bank Islam Dubai, tahun 1978.
3) Kelompok Studi Ekonomi Islam dalam Lapangan Penerapan, Abu Dhabi,
tahun 1981.
4) Seminar Ekonomi Islam di Unversitas al-Azhar pada tahun 1980 dan
tahun 1981.
5) Muktamar Ekonomi Islam Internasional yang kedua, di Islamabad
Pakistan pada tahun 1983.
6) Muktamar Bank Islam yang kedua di Baitit Tamwil al-Kuwaiti,
Kuwait, pada tahun 1983.
7) Muktamar Sistem Ekonomi menurut Islam, antara Teori dan Praktek,
di Universitas Mansourouh, Mesir, pada tahun 1983.
Adapun di Indonesia, ekonomi Islam dengan wujud
lembaga keuangan perbankan syariah baru muncul dan berkembang sejak tahun 1991,
dan lembaga keuangan asuransi syariah tahun 1994. Baru beberapa tahun kemudian
yaitu tahun 2000, banyak Perguruan Tinggi di Indonesia beramai-ramai membuka
jurusan atau program studi ekonomi Islam. Seperti JEI (Jurusan Ekonomi Islam)
STAIN Surakarta yang membuka kelas di Yogyakarta, Jurusan Keuangan Islam di UIN
Yogyakarta, Jurusan Ekonomi Islam di UMY, STEI Yogyakarta, STEI Hamfara di
Yogyakarta, STEI Tazkia di Jakarta, dan lain sebagainya.
Dunia akademik inilah yang kemudian paling
banyak berperan dalam mengembangkan ekonomi Islam di abad 21 ini. Sebab hanya
lembaga pendidikan yang mampu melahirkan pemikir-pemikir ekonomi Islam yang
kritis, yang memperbaiki praktek-praktek ekonomi Islam yang keliru, merekonstruksi
teori-teori ekonomi Islam yang sudah dibangun sebelumnya oleh para cendikiawan
muslim di masa kejayaannya, dan merancang bangunan sistem ekonomi Islam agar
siap dipraktekkan bilamana sistem besar dari Islam terbangun.
[1][i] Abdul
Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah,
Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2002, hal. 155-167.
[1][ii] Muhammad Husain Haekal, Abu
Bakr as-Siddiq, Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, 2005, hal. 89.
[1][v] Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam,
Jakarta, PT. RajaGrafindo
Persada,
2004, hal. vi
[1][vi] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit
dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Jakarta, Pustaka al-Kausar, 2004, hal. 186.
[1][vii] Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan
Khilafah Islamiyah, Jawa Timur,
Al-Izzah,
2001, hal. 184