Posted by : Unknown Minggu, 10 Maret 2013


Oleh: Muhammad Baiquni Syihab

A.    Lahirnya Ekonomi Islam 
         Bagaimanapun ekonomi Islam bersumber dari sumber-sumber hukum Islam. Sedangkan sumber hukum Islam terbatas hanya pada al’Qur’an, Hadits Nabi Saw dan Ijma Shahabat yang tentu sudah tidak ada lagi tambahannya sejak periode generasi Shahabat Rasulullah Saw berakhir. Artinya, sistem ekonomi Islam sudah ada dan dipraktekkan sejak periode-periode saat sumber-sumber hukum Islam tersebut masih pada proses turunnya.


Dapat dipastikan telah dipraktekkan, sebab ini terkait masalah hukum wajib dan haram, hal yang mustahil apabila di periode lahirnya sumber hukum Islam terjadi perkara yang haram diwajibkan dan perkara yang wajib justru diharamkan sedangkan Allah dan RasulNya membiarkannya. Artinya sistem ekonomi Islam sudah terbentuk, hanya saja masih tersebar dalam ayat al-qur’an dan matan hadits Nabi yang belum terstruktur dalam menggambarkan sebuah sistem ekonomi Islam.

Namun berbeda dengan Ilmu ekonomi Islam, yang perkembangannya bisa saja terus bertambah dan berlanjut hingga akhir umur dunia ini. Sebab sumber dari ilmu ekonomi Islam bukan hanya berasal dari sumber-sumber hukum Islam yang empat semata, melainkan juga bisa berasal dari selain itu. Dengan demikian ilmu ekonomi yang bukan berasal dari Islam bisa diadopsi menjadi Ilmu ekonomi Islam, sepanjang tidak bertentangan dengan asas halal-haram dalam Islam.

Maka dalam sejarah lahirnya ekonomi Islam, kita perlu memetakan mana periode-periode saat sistem ekonomi Islam mulai ada dan berakhir, dengan periode-periode saat ilmu ekonomi Islam mulai ada dan berakhir. Mengingat sifat keduanya yang berbeda satu sama lain.

1.      Ekonomi Islam Abad 7 M/1 H – 12 M/6 H
Tidak disangkakan lagi bahwa lahirnya sumber hukum dari sistem ekonomi Islam ada pada periode Rasulullah Saw hingga periode Ali bin Abi Thalib, sebab periode Ali adalah periode shahabat Nabi yang terakhir dimana para ulama menyebutnya sebagai akhir periode Khulafaur Rasyidin (Khalifah-Khalifah yang lurus). Periode shahabat adalah periode yang termasuk sumber hukum Islam yang ketiga dari sistem ekonomi Islam, yaitu Ijma Shahabat Nabi. Namun juga tidak dapat dipungkiri apabila Ilmu ekonomi Islam bisa lahir pada periode-periode tersebut.

a.      Masa Rasulullah Saw
Masa Rasulullah adalah masa saat dua sumber hukum Islam turun, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Praktek ekonomi yang sesuai dan tidak sesuai dengan Islam pada masa tersebut akan dijelaskan dan ditetapkan, baik itu pada al-qur’an maupun hadits Nabi Saw. Penjelasan dan ketetapannya ada yang memiliki alasan hukum (illat) dan ada pula yang tidak.

Penjelasan dan ketetapan ekonomi yang tidak memiliki alasan hukum adalah khusus untuk kasus itu saja. Adapun penjelasan dan ketetapan yang memiliki alasan hukum adalah dengan maksud agar apabila ada fakta ekonomi baru di kemudian hari yang secara teks tidak terdapat pada sumber-sumber hukum Islam yang tiga, maka fakta ekonomi baru tersebut bisa dianalogikan (diqiyaskan) dengan penjelasan dan ketetapan tersebut dengan menyamakan alasan hukumnya (illat). Sehingga fakta baru ekonomi tersebut tetap memiliki status hukum menurut Islam walaupun al-Qur’an, Hadits dan Ijma Shahabat sudah tidak akan bertambah lagi.

Jenis-jenis zakat harta (maal) adalah contoh ketetapan sumber hukum Islam yang tidak memiliki alasan hukum, sehingga jenis-jenis zakat harta hanya pada barang-barang yang telah dijelaskan saja. Apabila dikemudian hari dan di wilayah lain ditemukan bentuk harta lain, maka itu tidak termasuk harta yang wajib dizakati.[1][i] Seperti zakat ternak hanya tersebut dalam nash pada sapi, kerbau, unta dan kambing, sehingga apabila ada seorang muslim yang menternak binatang byson, kangguru dan zebra di wilayah Amerika maka ternaknya tidak dikenai zakat. Bukan karena byson, kangguru dan zebra tidak terdapat di wilayah Arab, dan bukan pula karena orang Arab zaman Nabi Saw tidak pernah melihat binatang-binatang tersebut, melainkan karena kehendak syari’ dalam menetapkan harta zakat ternak hanya pada ternak-ternak tertentu saja. Inilah yang dimaksud dengan penjelasan dan ketetapan ekonomi oleh sumber hukum Islam yang tidak memiliki alasan hukum.

Adapun penjelasan dan ketetapan ekonomi yang memiliki alasan hukum adalah seperti dalam konsep kepemilikan umum dalam sistem ekonomi Islam. Hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw mengambil alih kembali tambang garam yang sudah diberikan kepada Abyadh bin Hamal setelah beliau mengetahui sifat barang tambang tersebut seperti air mengalir, menunjukkan bahwa hadits ini mengandung alasan hukum. Yaitu karena jumlahnya yang besar dengan diumpamakan bagai air yang mengalir, itu adalah alasan hukum barang tambang menjadi berstatus milik umum. Artinya apabila dikemudian hari dan atau di wilayah lain ditemukan barang tambang yang secara teks tidak terdapat dalam nash, namun memiliki alasan hukum yang sama, yaitu sama-sama seperti air yang mengalir (banyak) maka status hukumnya dapat disamakan, yaitu berstatus hukum kepemilikan umum. Seperti minyak bumi, batu bara, gas alam, tambang emas, nikel, timah dan lain sebagainya, apabila memiliki sifat seperti air yang mengalir, maka status kepemilikannya adalah milik umum, tidak dibolehkan baik individu maupun negara memilikinya, menguasainya dan mengambil keuntungan darinya.

Adapun dalam pemanfaatan kepemilikan (tasyarruf fil milkiyah) dan pendistribusian harta (tauzi’u tsarwah) yang termasuk dalam sistem ekonomi Islam, di masa Rasulullah Saw al-qur’an dan hadits juga telah menetapkannya.

Pemanfaatan kepemilikan telah banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih ulama yang bersumber dari kitab-kitab hadits para perawi hadits. Seperti pembahasan seputar kewajiban membayar zakat, memberi shodaqoh, hibah, wasiat dan lain sebagainya, juga larangan dari sifat bukhl (pelit), isrof (berlebihan), risywah (suap) dan lain sebagainya. Juga pembahasan seputar hukum perdagangan atau jual beli, syirkah (kerjasama bisnis), syina’ah (industri), az-zara’ah (bertani) dan lain sebagainya, juga larangan terhadap praktek qimar (judi), riba, tadlis fil bai’ (menyembunyikan cacat dalam jual beli), ghabn fahisy (penipuan) dan lain sebagainya. Hukum-hukum demikian adalah hukum-hukum Islam mengenai pemanfaatan kepemilikan, baik pembelanjaan harta (infaq) maupun pengembangan harta (tanmiyah).

Pendistribusian harta juga telah ditetapkan di masa Rasulullah saw, contohnya yaitu dalam pendistribusian harta zakat, al-qur’an telah menetapkan dalam surat at-Taubah: 60 bahwa zakat hanya pada delapan golongan dari masyarakat muslim, dan tidak dibolehkan diberikan pada selain itu. Apabila pemungut zakat ditetapkan pelakunya adalah negara sebagaimana terdapat dalam at-Taubah: 103, maka tentu pendistribusi harta tersebut juga tidak lain adalah negara.

b.      Masa Khulafaur Rasyidin
Masa Khulafaur Rasyidin (Khalifah-Khalifah yang lurus) adalah masa saat pemerintahan Islam dipimpin secara bergantian oleh Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib selama kurang lebih 30 tahun pasca wafatnya Rasulullah Saw. Masa ini juga termasuk masa dimana sumber hukum Islam masih ada, yaitu sumber hukum Islam yang ketiga, Ijma Shahabat. Artinya, sumber hukum dari sistem ekonomi Islam juga masih ada. Dimana kesesuaian dan ketidaksesuaian praktek ekonomi pada masa itu akan dijelaskan dan ditetapkan oleh para shahabat Nabi Saw yang akan kita ketahui melalui kisah-kisahnya.

Dikisahkan dengan mashur bahwa Abu Bakar memerangi masyarakat dari kaum muslimin yang tidak mau membayar zakat kepada negara, walaupun sebenarnya mereka masih mau mendirikan sholat. Menurut Abu Bakar, sholat dan zakat tidak dapat dipisahkan, sehingga pembangkangan terhadap salah satunya tidak dapat ditolerir. Hal ini dibenarkan dan tidak ditentang oleh para shahabat yang lain, sehingga peristiwa ini menjadikannya sebagai Ijma Shahabat. Zakat dihimpun oleh negara dan didistribusikan juga oleh negara.[1][ii]

Pada masa Rasulullah Saw dan Abu Bakar, sistem ekonomi Islam telah berjalan. Sedangkan contoh ilmu ekonomi Islam belum tampak daripadanya. Baru pada masa Umar bin Khathab contoh dari ilmu ekonomi Islam mulai berkembang. Yaitu dibentuknya Baitul Mal (kantor penyimpan kas dan kekayaan negara) dengan Diwan-diwannya pada tahun 20 H. Hal semacam ini belum pernah ada di masa pemimpin Islam sebelumnya.[1][iii]

Diwan sebagaimana dikatakan al-Mawardi adalah tempat menyimpan apa-apa yang berhubungan dengan negara, seperti daftar pekerjaan dan proyek negara, daftar kekayaan negara, siapa-siapa yang bertanggung jawab terhadap keduanya, dan daftar tentara dan para pegawai negara. Diwan termasuk dalam ilmu ekonomi Islam sebab hal ini adalah perkara tata  cara teknis dalam urusan harta barang dan jasa. Sehingga ilmu tentang diwan bisa diadopsi menjadi ilmu ekonomi Islam walaupun ilmu ini sebenarnya diadopsi dari negara Persia dan Romawi yang tentu pada saat itu bukan negeri muslim.

Dikisahkan bahwa kas negara pada masa Umar selalu habis dibagikan pada masyarakat dalam sehari dalam setahun. Hal ini tertera pada surat yang dikirimkan Umar kepada Abu Musa al-Asy’ari: “amma ba’du, ketahuilah bahwa dalam sehari dalam setahun, tidak tersisa sedirham pun kas di Baitul Mal ketika aku mengeceknya, sehingga Allah mengetahui bahwa aku sudah memenuhi hak masyarakat”. Abu Ubaid pun berkata: “jika datang hasil kekayaan kepada negara di pagi hari, maka tidak sampai tengah hari Umar telah habis membagikannya”. Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Sa’ad bahwa Umar pernah menulis surat kepada Hudzaifah pegawainya, “berikanlah mereka (setiap warga) bagiannya dan rezekinya”. Namun dalam surat balasannya Hudzaifah mengatakan, “kami sudah memberikan mereka semua bagiannya, akan tetapi harta tersebut masih banyak tersisa”. Menerima laporan itu Umar kemudian menulis surat lagi, “harta itu adalah hasil fa’i, mereka sendiri yang telah diberikan oleh Allah, dan bukan milik Umar atau keluarganya. Bagikan lagi harta sisa itu kepada mereka!”. Demikian sikap Umar terhadap harta negara. Sejarah juga telah menulis, bahwa Umar selalu melakukan hal ini sepanjang masa pemerintahannya.

Dikisahkan pula oleh Abu Yusuf bahwa Umar pernah melewati kakek tua renta dengan matanya yang sayu yang meminta-minta di pintu gerbang suatu daerah, lalu Umar menepuknya dari belakang sambil bertanya: “dari ahli kitab mana kamu?”. Orang itu menjawab: “dari Yahudi”. Umar kembali bertanya: “apa yang menyebabkanmu kesini?” orang itu menjawab: “aku kesini ingin meminta bagian jizyah, karena kebutuhanku dan umurku”. Lalu Umar mengajaknya ke Baitul Mal dan memerintahkan penjaga Baitul Mal untuk memberikan sesuatu kepada orang tua itu sambil berkata: “lihatlah orang tua ini, demi Allah kami tidak tega jika masa mudanya kami memakan hasil jerih payahnya (memungut jizyah), dan ketika ia sudah tua kita tidak mengasihaninya. Dan bahwasanya zakat itu adalah untuk orang-orang fakir dan miskin. Orang fakir adalah orang-orang Islam, sedangkan orang tua ini termasuk orang miskin dari ahli kitab, maka berikanlah ia jizyah”.

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa pos-pos pemasukan dan pos-pos pengeluaran negara tidak lain berdasarkan ketentuan Allah dan RasulNya menurut jenis kepemilikannya dalam sistem ekonomi Islam, sebab bila tidak tentu akan mendapat penentangan dari shahabat Nabi yang lain, yang membuatnya tidak terjadi ijma (kesepakatan).

Umar juga membuat sistem ekonomi Islam bekerja dengan baik, dengan mewajibkan perkara-perkara ekonomi yang wajib, juga mengharamkan perkara-perkara ekonomi yang haram. Seperti mewajibkan agar kaum dhuafa dinafkahi oleh keluarga-keluarganya, apabila tidak maka Umar akan menghukum dan mempidanakan keluarganya mulai dari yang terdekat. Apabila kaum dhuafa tersebut tidak memiliki kerabat maka Baitul Mal akan mendaftarnya sebagai orang-orang yang ditanggung biaya hidupnya. Sehingga tidak ditemukan pada masa Umar orang yang mati atau sakit karena kelaparan.

Umar juga mengharamkan riba, hingga dikisahkan bahwa Umar mengusir keluar Jazirah Arab warga negaranya dari suku Yahudi Fidak, Yahudi Khaibar dan Nasrani Najran disebabkan karena mereka memakan riba. Hal ini karena mereka melanggar ketentuan Rasul Saw dahulu terhadap non muslim apabila ingin hidup berdampingan dengan kaum muslim, yaitu tidak boleh menjalankan roda ekonomi dengan jalan riba.

Adapun pada masa Utsman, tidak banyak informasi aktivitas perekonomian yang bisa didapat dari sejarahnya, sebab referensi sejarah lebih banyak fokus menceritakan kisah perpolitikan. Namun demikian kisah perekonomian juga tetap digambarkan walaupun dalam garis globalnya, yaitu berlimpahnya pemasukan negara yang berdampak pada rizki kaum muslim yang turut berlimpah pula. Demikian pula tidak jauh berbeda dengan masa Ali bin Abi Thalib.

c.       Masa Bani Umayyah
Periode sumber hukum dari sistem ekonomi Islam telah berakhir. Sebab periode bani Umayyah adalah periode dimana seringnya suatu relitas ditentang oleh sebagian dari shahabat Nabi, sehingga hampir tidak pernah terjadi ijma shahabat. Tinggal masanya pemerintahan ini melanjutkan berjalannya roda sistem ekonomi Islam yang sudah digelindingkan para pendahulunya, walaupun perputarannya terkadang keluar masuk pada jalurnya.

Pada masa ini juga adalah masa dimana ilmu ekonomi Islam berkembang. Mata uang dinar emas yang menjadi alat transaksi ekonomi sejak lama dengan gambar raja Romawi didalamnya, pada masa ini yaitu masa Abdul Malik bin Marwan dicetak dengan mencirikhaskan praktek ekonomi Islam. Yaitu mencetak dinar dengan kepingan bertuliskan kalimat tauhid Qul huwallaahu ahad di satu sisi dan sisi lain Laa ilaaha illallah, adapun dalam dirham dengan tulisan Muhammadun rasuulullaahi arsalahu bil hudaa wadiinil haq. Pada masa ini juga dijadikan timbangan dirham sesuai dengan hitungan zakat. Dengan maksud agar tidak sulit dalam perhitungannya, yaitu menjadikan 1 dirham sama dengan 6 dawaniq, sehingga 10 dirham sama dengan 7 mitsqal.[1][iv]

Pada masa Abdul Malik bin Marwan juga dibuat kantor yang secara khusus mengurusi Kharaj (pajak atas tanah taklukkan), dan kantor keuangan yang bertugas menuliskan hitungan dan angka-angka, nama-nama tanah, besarnya hasil panen dan besarnya pajak.

Adapun masa Umar bin Abdul Aziz, yaitu Khalifah ketujuh dari bani Umayyah adalah masa ekonomi Islam menjadikan masyarakat semuanya kaya. Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Dalail an-Nubuwwah dari Umar bin Asiid ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz memerintah hanya selama 30 bulan. Dan demi Allah disaat ia meninggal, maka sungguh orang ini telah memberikan kepada kami (negara) harta atau devisa yang sangat banyak. Dan saat pintu-pintu mereka diketuk untuk diberi zakat mereka malah menolaknya dan mengatakan, “Allah telah mencukupi kami dengan karunianya”.

Masa Umar bin Abdul Aziz juga masa perbaikan dari penyimpangan praktek ekonomi Islam yang dilakukan para pendahulunya. Seperti Umar menghapus jizyah (pajak atas warga Khilafah yang non muslim) yang ditarik dari muallaf, yaitu orang-orang yang baru masuk Islam. Hal ini pernah dipraktekkan oleh gubernur Abdul Malik di wilayah Irak, yaitu al-Hajjaj. Hal ini dilakukan al-Hajjaj sebab pendapatan negara dari jizyah berkurang disebabkan banyaknya non-muslim yang masuk Islam. Namun al-Hajjaj memandang bahwa itu merupakan usaha non muslim dalam menghindari jizyah. Pada masa Umar, jizyah terhadap muallaf dihapuskan.

d.      Masa Bani Abbasyiah
Sebagaimana masa bani Umayyah, masa bani Abbasyiah juga masa dimana roda dari praktek sistem ekonomi Islam terkadang keluar dan masuk pada relnya. Oleh karena itu masa Abbasyiah adalah masa dimana banyak lahir para ulama sekaligus ekonom muslim yang memantau dan menjaga agar sistem ekonomi Islam tetap berjalan diatas relnya, sekaligus merumuskan ilmu-ilmu ekonomi Islam dengan lebih spesifik dari masa-masa sebelumnya. Diantaranya yang tersohor adalah Abu Yusuf, al-Syaibani, Abu Ubaid, Yahya bin Umar, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Syatibi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun.[1][v]

Abu Yusuf adalah tokoh ekonom muslim yang hidup diawal pemerintahan Islam bani Abbasy yang lebih fokus terhadap keuangan publik. Hingga beliau menulis sebuah kitab yang khusus membahas pajak atas tanah-tanah yang telah ditaklukkan kaum muslimin, yaitu kita al-Kharaj. Dikisahkan pula bahwa beliau pernah menentang penguasa yang mengendalikan dan menetapkan harga (tas’ir) atas barang yang berjenis kepemilikan individu, sebab dalam pandangan beliau praktek ekonomi seperti itu bertentangan dengan hadits Nabi Saw yang melarang penetapan harga pasar atas barang.

Adapun al-Syaibani, beliau lebih banyak membangun teori dan hukum ekonomi baik dalam sistem maupun ilmu ekonomi Islam. Seperti beliau telah mendefinisikan arti kerja (al-kasb) dalam ekonomi Islam, yaitu sebagai cara untuk memperoleh harta melalui berbagai cara yang halal. Artinya tidak bisa disebut bekerja orang yang menggunakan cara haram dalam memperoleh harta. Al-Syaibani juga mengklasifikasikan usaha-usaha perekonomian terbagi pada empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian dan perindustrian. Adapun klasifikasi ekonomi modern hanya terdiri tiga macam, yaitu perdagangan, pertanian dan industri.

Sedangkan Abu Ubaid sebagaimana Abu yusuf, beliau ekonom muslim yang konsen terhadap dunia ekonomi hingga menulis kitab fenomenal yang khusus membahas masalah harta kekayaan, yaitu kitab al-Amwal. Abu Ubaid juga mengakui dan memandang bahwa konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam terbagi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara.  Abu Ubaid juga mengemukakan teorinya tentang uang (dinar dan dirham), bahwa fungsi uang hanya dua, yaitu sebagai alat tukar dan standar nilai, tidak ada yang lain. Berbeda dengan ekonomi Kapitalisme yang menyatakan selain standar nilai dan alat tukar, uang juga berfungsi sebagai penyimpan kekayaan. Menurut Abu Ubaid fungsi uang hanya dua yang telah tersebut diatas, sebab penyimpan kekayaan sama saja dengan kanzul maal (menyimpan uang tanpa tujuan konsumsi) yang dalam ekonomi Islam adalah haram.

Adapun Yahya bin Umar menulis kitab Ahkam al-Suq, kitab pertama dalam dunia ekonomi Islam yang membahas masalah hisbah dan berbagai hukum pasar. Beliau menyatakan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi dengan dua hal, pertama, hukum syara tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu wilayah. Kedua, hokum syara tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan pembebasan fluktuasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudharatan bagi konsumen. Dengan demikian kitab ahkam al-suq sebenarnya merupakan penjelasan dari kedua hal tersebut.

Adapun al-Ghazali dan al-Syatibi, beliau lebih cenderung menyusun rumusan teori yang bukan hanya untuk ekonomi aja, melainkan juga rumusan teori tersebut juga untuk aktivitas hidup manusia lainnya selain ekonomi. Beliau menjelaskan bahwa kesejahteraan dari suatu masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan maqashidu syari’ah (tujuan syariah), yaitu untuk pemeliharaan agama (din), jiwa (nafs), keturunan (nasl), harta (maal), dan akal (aql). Beliau juga merumuskan pelaksanaan teori tersebut hendaknya mengikuti fiqih aulawiyat (kaidah pengutamaan), yaitu mendahulukan yang bersifat dharuriyat kemudian hajiyat dan kemudian pada tahsiniyat.

Sedangkan Ibnu Taimiyah juga banyak merumuskan teori-teori ekonomi. Seperti beliau merumuskan teori tentang price (harga) yang adil, dengan mengistilahkannya dengan dua sebutan, yaitu kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl). Beliau mengatakan “kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan inilah esensi keadilan (nafs al-‘adl)”. Selain itu beliau juga mengungkapkan teori ekonomi Islam yang lain, seperti teori upah adil, teori laba adil dan banyak lagi teori ekonomi Islam lain yang dirumuskan oleh ulama sekaligus ekonom brilian ini.

Adapun Ibnu Khaldun adalah cendekiawan muslim yang keahliannya multi bidang, dari ekonomi, fiqih, ilmu alam, matematika dan astronomi. Beliau hidup dikhir-akhir pemerintahan Islam yang dipimpin bani Abbasy. Sebagaimana Ibnu Taimiyah, beliau juga banyak merumuskan teori ekonomi Islam dalam kitab-kitab hasil karyanya, seperti dalam kitab muqaddimah. Beliau merumuskan teori produksi, teori nilai, teori uang dan teori harga. Dalam teori uang beliau mengungkapkan bahwa: “semua barang-barang lainnya terkena fluktuasi pasar, kecuali emas dan perak”. Ini artinya beliau mengungkapkan bahwa standar mata uang yang baik dan layak menjadi alat tukar tahan inflasi adalah standar logam, yaitu emas dan perak.

2.      Ekonomi Islam Abad 13 M/7 H – 20 M/14 H
a.      Masa Bani Utsmani
Sebutan lainnya adalah Turki Utsmani, yang biasa disebut bangsa Eropa sebagai Ottoman. Adalah pemerintahan Islam yang beribu kota di bekas ibu kota kekaisaran Romawi Timur, Konstantinopel. Wilayahnya terbentang dari barat Afrika bagian utara, jazirah Arab, Syam, Persia hingga Eropa bagian timur. Tidak banyak perkembangan ilmu ekonomi Islam yang dikisahkan dari sejarahnya, melainkan hanya cerita tentang keadaan ekonomi yang melanda pemerintahan tersebut.

Dikisahkan oleh Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam kitabnya yang berjudul Daulah Utsmaniah ‘awamilut tahwidh wa asbabus suquth, bahwa kemakmuran, kejayaan dan kestabilan ekonomi menghinggapi masyarakat yang bernaung dalam negeri Utsmani diawal-awal pemerintahannya. Terutama saat dipimpin oleh Khalifah Muhammad al-Fatih, kemakmuran dan kemudahan dalam sektor perdagangan di seluruh negeri.[1][vi]

Masih dengan yang dikisahkan Ash-Shalabi, bahwa keadaan ekonomi Turki Utsmani di periode akhir pemerintahannya justru terbalik dengan saat-saat awal pemerintahannya. Diakhir-akhir waktu sebelum keruntuhannya pemerintahan Utsmani mengalami kemunduran di segala bidang. Terungkap pada kisah saat delegasi Yahudi, Theodore Hertzl meminta kepada Sultan/Khalifah Abdul Hamid II (Khalifah terakhir Turki Utsmani) agar kaum yahudi dibolehkan untuk menduduki tanah Palestina dengan menawarkan dengan berbagai tawaran. Yaitu akan memberikan 20 juta lira untuk memperbaiki kondisi ekonomi Turki, akan membantu membebaskan dari lilitan hutang-hutangnya dan berbagai tawara lainnya. Namun demikian dikisahkan bahwa sultan menolak mentah-mentah permintaan delegasi Yahudi tersebut dengan mengatakkan; “maka biarkanlah orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka. Jika negeriku tercabik-cabik, maka sangat mungkin mendapatkan negeri Palestina tanpa ada imbalan dan balasan apapun”.

Demikianlah yang terjadi pada akhir periode penerapan sistem ekonomi Islam. Tidak lama setelah itu pemerintahan Islam pun resmi dibubarkan oleh penggagas negara baru Republik Turki, Musthofa Kamal At-Turk.[1][vii]

b.      Lenyapnya Ekonomi Islam
Apabila ekonomi Islam dianggap sebagai sebuah ilmu baru bagi suatu masyarakat, tentu diakibatkan karena periode sebelumnya masyarakat tersebut tidak mengenal ekonomi Islam. Apabila periode sebelumnya masyarakat tersebut telah mengenalnya, tentu ekonomi Islam tidak akan dianggap sebagai suatu ilmu baru. Namun apabila ekonomi Islam dianggap sebagai hal baru, bukan berarti ekonomi Islam tersebut belum pernah ada sama sekali di periode-periode sebelumnya. Sebab bisa jadi hal itu diakibatkan karena ada keterputusan informasi dan prakteknya di suatu periode tertentu. Sehingga terdapat suatu generasi yang sama sekali tidak pernah melihat dan mendengar wujudnya, sehingga tidak ada yang bisa disampaikan pada generasi setelahnya yang membuatnya terus berkesinambungan. Dan inilah yang terjadi pada diri ekonomi Islam. Ekonomi Islam pernah ada, pernah dipraktekkan dan pernah jaya disuatu periode tertentu.

Lenyapnya ekonomi Islam pada periode sebelum ini seiring dengan lenyapnya sistem Islam yang menaunginya. Kekhilafahan Islam bani Utsmani tercatat runtuh pada 3 Maret 1924 dengan diproklamirkan sistem kenegaraan yang baru, Republik Turki. Sejak saat itu tidak ada lagi penerapan ekonomi Islam sebagai sebuah sistem. Yang ada hanya penerapan ekonomi Islam bagi individu masyarakat yang ingin menerapkan untuk dirinya saja. Namun demikian tidak dapat memaksakan agar orang lain juga menerapkan sebagaimana yang ia terapkan, sebab saat itu hingga saat ini ekonomi Islam bukanlah suatu sistem ekonomi yang memaksa suatu masyarakat untuk menerapkannya. Berbeda tentunya dengan saat ekonomi Islam sebagai sebuah sistem ekonomi yang diterapkan sebelum saat keruntuhan sistem Islam yang menaunginya. Dimana masyarakat dengan rela maupun tidak, akan tetap menerapkan ekonomi Islam, sebab ekonomi Islam saat itu adalah sebuah sistem ekonomi yang memaksa. Sebagaimana sistem ekonomi Kapitalisme saat ini yang juga memaksa.

 
3.      Ekonomi Islam Abad  20-21 M/14-15 H
a.      Lahirnya Kembali Ekonomi Islam
Tidak dapat dipungkiri, setelah berpuluh tahun masyarakat Islam hidup tanpa ekonomi Islam sebagai sebuah sistem ekonomi, kerinduan untuk berpraktek ekonomi dengan cara Islam mulai merasuk kesetiap dada orang Islam. Bukan hanya sekedar karena ekonomi Kapitalisme tak mampu memberikan rasa adil, tak mampu menyejahterakan masyarakat, dan semakin memperlebar jarak antara yang kaya dan yang miskin. Melainkan juga karena orientasi kehidupan akherat membuat orang Islam terdorong untuk berekonomi dengan cara yang bisa menghantarkannya pada surga Allah dan menjauhinya dari siksa neraka.

Kemunculan kembali isu ekonomi Islam lebih banyak dipengaruhi karena kecintaan masyarakat Islam terhadap praktek ekonomi yang diridhoi oleh Allah dan RasulNya. Terbukti pada kasus lain, seperti penggunaan jilbab, dimana pasca keruntuhan Khilafah Turki Utsmani pakaian jilbab dilarang untuk digunakan oleh rakyat Turki, namun belakangan pakaian bercirikhaskan Islam itu mulai banyak yang menggunakannya kembali. Termasuk di Indonesia, kita dapat melihat perbedaanya antara tahun 1970-an dengan tahun-tahun sekarang. Ini menunjukkan kerinduan terhadap praktek kehidupan dengan cara yang diridhoi Allah dan RasulNya mulai kembali dirindukan.

Sejarah mencatat bahwa bibit-bibit sistem ekonomi Islam mulai bangkit kembali dan menampakkan tunasnya tidak lama setelah keruntuhannya, yaitu diakhir abad 20 telah mulai diselenggarakan muktamar dan seminar ekonomi Islam diberbagai tingkat, baik lokal suatu daerah maupun tingkat internasional. Sebagai titik awal dari kembalinya ekonomi Islam.
Demikian catatan sejarah:[1][viii]
1)      Muktamar Ekonomi Islam Internasional yang pertama, di Universitas Malik bin Abdul Aziz, Jeddah, pada tahun 1976.
2)      Muktamar Bank Islam pertama di Bank Islam Dubai, tahun 1978.
3)      Kelompok Studi Ekonomi Islam dalam Lapangan Penerapan, Abu Dhabi, tahun 1981.
4)      Seminar Ekonomi Islam di Unversitas al-Azhar pada tahun 1980 dan tahun 1981.
5)      Muktamar Ekonomi Islam Internasional yang kedua, di Islamabad Pakistan pada tahun 1983.
6)      Muktamar Bank Islam yang kedua di Baitit Tamwil al-Kuwaiti, Kuwait, pada tahun 1983.
7)      Muktamar Sistem Ekonomi menurut Islam, antara Teori dan Praktek, di Universitas Mansourouh, Mesir, pada tahun 1983.

Adapun di Indonesia, ekonomi Islam dengan wujud lembaga keuangan perbankan syariah baru muncul dan berkembang sejak tahun 1991, dan lembaga keuangan asuransi syariah tahun 1994. Baru beberapa tahun kemudian yaitu tahun 2000, banyak Perguruan Tinggi di Indonesia beramai-ramai membuka jurusan atau program studi ekonomi Islam. Seperti JEI (Jurusan Ekonomi Islam) STAIN Surakarta yang membuka kelas di Yogyakarta, Jurusan Keuangan Islam di UIN Yogyakarta, Jurusan Ekonomi Islam di UMY, STEI Yogyakarta, STEI Hamfara di Yogyakarta, STEI Tazkia di Jakarta, dan lain sebagainya.

Dunia akademik inilah yang kemudian paling banyak berperan dalam mengembangkan ekonomi Islam di abad 21 ini. Sebab hanya lembaga pendidikan yang mampu melahirkan pemikir-pemikir ekonomi Islam yang kritis, yang memperbaiki praktek-praktek ekonomi Islam yang keliru, merekonstruksi teori-teori ekonomi Islam yang sudah dibangun sebelumnya oleh para cendikiawan muslim di masa kejayaannya, dan merancang bangunan sistem ekonomi Islam agar siap dipraktekkan bilamana sistem besar dari Islam terbangun.


[1][i] Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2002, hal. 155-167.
[1][ii] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakr as-Siddiq, Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, 2005, hal. 89.
[1][iii] Muhammad Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab, Khalifa, Jakarta, 2005, hal. 414
[1][iv] Yusuf Al-Isy, Sejarah Dinasti Umawiyah, Pustakan al-Kausar, Jakarta, 2007, hal. 288.
[1][v] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2004, hal. vi
[1][vi] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, Jakarta, Pustaka al-Kausar, 2004, hal. 186.
[1][vii] Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah, Jawa Timur, Al-Izzah, 2001, hal. 184
[1][viii] Op.cit, Husein Syahatah, hal. 26-27

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Popular Post

My Blog List

Footer Widget 1

Texts

Footer Widget 3

Recent Posts

Label

Trending Topic

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Terbaru

Fakta

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © 2013 Artikel Mahasiswa -Dark Amaterasu Template -