Posted by : Unknown Jumat, 22 Maret 2013




A.    Riwayat Hidup
Al-syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Syatibi merupakan salah seorang cendikiawan Muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama Al-syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.[1]
Al-Syatibi dibesarkan dan memperolehseluruh pendidikannya di ibu kota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada.
Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi Al-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam meneliti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid (esensi dan hakikat). Al-Syatibi memulai aktifitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkarn Al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad Al-Syatibi, dan Abu Ja’far Ahmad Al-Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami hadits dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin Al-Tilimsani ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur Al-Zawawi, ilu usul fiqh dariAbu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Syarif Al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu BakarAl-Qarsyi Al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad Al-Nafsi Al-Rundi.
Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu,Al-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa Arab dan khususnya, usul fiqh. Ketertarikannya terhadap ilmu usul fiqh karena menurutnya, metodologi dan falsafah fiqih islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.[2]
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi mengembangkan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibnAsim, Abu Bakar Al-Qadi dan Abu Abdillah Al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya karya ilmiah, seperti syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Usul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fiqih. Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).

B.     Konsep Maqhasid al-Syari’ah
Sebagai sumber utama agama Islam,Al-qur’an mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Al-qur’an dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak dan syari’ah. Aqidah berkaitan dengan dasar dasar keimanan, akhlaq berkaitan dengan etika dan syari’ah berkaitan dengan aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syari’ah), dalam sistematika hokum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habn min al-nas).[3]
Alquran tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Ia hanya mengandung dasar dasar atau prinsip prinsip bagi berbagai masalah hokum dalam Islam. Bertitik tolak dari dasar atu prinsip ini, Nabi Muhammad saw. Menjelaskan melalui berbagai hadisnya. Kedua sumber inilah (Al-quran dan Hadis Nabi) yang kemudian di jadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hokum Islam, terutama di bidang muamalah. Dalam kerangka ini, Al-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syari’ah.
Secara bahasa, Maqhasid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqhasid dan al-Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atu tujuan, sedangkan al-Syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan kea rah sumber pokok kehidupan.[4] Menurut istilah, Al-Syatibi menyatakan,
“Sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatn manusia di dunia dan di akhirat”[5]
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syaru\i;ah menurut Al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukumAllah swt. yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan yang sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.[6]kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak .[7]
Kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang ada pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Al-Syatibi menjelaskan bahwa Syari’ah berurusan dengan perlindungan mashalih, dan dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, baik syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih; maupun dengan cara preventif, seperti syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkanunsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.[8] 
1.      Pembagian Maqashid al-Syari’ah
Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dapat dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqhasid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.[9]

a.      Dharuriyat
Jenis maqhasid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan dimuka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dlam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak. Sebagai contoh, penunaian rukun Islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri masing-masing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.
b.      Hajiyat
Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan dan menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqhasid ini antara lain mencakup kebolehan untuk melaksanakan akad mudharabah, masaqat, muzara’ah dan bai salam, serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.
c.       Tahsiniyat
Tujuannya adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.

2.      Korelasi Antara Dharuriyat, Hajiyat dan Tahsiniyat
Dari hasil penelaahnya secara lebih mendalam, Al-Syatibi menyimpilkan korelasi antara dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat sebagai berikut.[10]
a.       Maqhasid dharuriyat merupakan dasar dari maqhasid hajiyat dan maqhasid tahsiniyat.
b.      Kerusakan pada maqhasid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqhasid hajiyat dan maqhasid tahsiniyat.
c.       Sebaliknya, kerusakan pada maqhasid hajiyat dan maqhasid tahsiniyat tidak dapat merusak maqhasid dharuriyat.
d.      Kerusakan pada maqhasid hajiyat dan maqhasid tahsiniyat yang bersifat absolute terkadang dapat merusak maqhasid dharuriyat.
e.       Pemeliharaan maqhasid hajiyat dan maqhasid tahsiniyat diperlakukan demi pemeliharaan maqhasid dharuriyat secara tepat.

Dengan demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqhasid tersebut tidak dapat dipisahkan. Tanpaknya, bagi Al-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurnaan tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurnaan bagi tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.
Pengklasifikasian yang dilakukan Al-Syatibi tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemiliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Disamping itu, pengklasifikasian tersebut juga mengacu pada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan oleh Allah swt. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.[11]
Berkenaan dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak berwujudnya aspek dharuriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsure pokok, tetapi hanya membawa kesulitanbagi mmanusia sebagai mukhallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabaian terhadap aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.[12] Lebih jauh, ia menyatakan segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqhasid yang lebih tingggi (dharuriyat dan hajiyat).[13]


C.    Beberapa Pandangan Al-Syatibi di bidang Ekonomi
1.      Objek kepimilikan
Pada dasarnya, Al-Syyatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaan tidak bisa dimiliki oleh siapapun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak dapat dijadikan senagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang dapat dijadikan sebagi objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah meilik individu. Lebih jauh, ia menyatakan, bahwa tidak hak kepemilikan yang dapt diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.[14]

2.pajak
      Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutif para pendahulunya, seperti Al-Gazali dan Ibn Al-Fara’, ia menyatkan bahwa pemiliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidakmam mampu melaksanakn tanggung jawab ini masyarakat bisa mengalihkannya kepada baitul mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan merekasendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyat-rakyatnya sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.[15]

D.    Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Dari pemaparan konsep maqhasid Al-Syari’ah diatas, terlihat jelas bahwa syari’ah menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. A-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syari’ah ini. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan aktifitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti di definisikan syari’ah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan atau (needs).[16]
      Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktifitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Oleh karen itu, problemmatika ekonomi manusia dan perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfillment needs) dengan sumber daya yang tersedia.
            Bila ditelaah dari sudut pandang ilmu menejmen kontemporer, konsep maqhasid Al-Syari’ah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motifasi. Seperti yang telah kita kenal, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persoalan “mengapa” seseorang berprilaku. Motovasi itu sendiri didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan, dan senbagainya.[17]
 Bila dikaitkan dengan konsep maqhasid Al-Syari’ah, jelas bahwa, dalam pandangan Islam, motovasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan  hidup di dunia dan di akhirat.
Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang individu akan terdorong untuk berprilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Mativasi itu sendiri meliputi usaha ketekunan dan tujuan.[18]
            Menuru Maslow, apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal menjadi prioritas. Dengan kata lain, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia berpendapat bahwa garis hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari:[19]
1.      Kebutuhan fisiolagi (fisiological needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan menyamp ingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.
2.      Kebutuhan keamanan (safety needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
3.      Kebutuhan sosial (social needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
4.      Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), mencakup kebutuhan terhadap penghornatan dan pengakuan diri. Pemenuhan  kebutuhan ini akan mempengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang.
5.      Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs), mencakup kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan inimerupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi.

Dalam dunia manajmen kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleq maslow tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikiut:[20]
1.      Pemenuhan kebutuhan pisiologi antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
2.      Pemenuhan kebutuhan keamanan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja dan lingkungan kerja yang aman.
3.      Pemenuhan kebutuhan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap kerja sama, stabilitas kelompok dan kesempatan berinteraksi sosial.
4.      Pemenuhan kebutuhan akan penghargaan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas dan pekerjaan dan pengakuan publik terhadap performance yang baik.
5.      Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan dalam berkreatifitas dan pantangan pekerjaan.

Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh maslow diatas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqhasid A-Syari’ah bahkan, konsep yang telah dikemukakan oleq Al-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagi faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian maslow. Seperti yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi factor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dalam persfektif Islam, berpijak pada doktri keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperolah kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotifasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu akan meningkatkan produktifitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.









PEMIKIRAN EKONOMI AL-MAQRIZI …

A.    Riwayat hidup A-Maqrizi
Nama lengkap Al-Maqrizi adalah Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir Al-Husaini. Ia lahir di desaa Barjuwan, Kairo, pada tahun 766 H (1364-1365M). keluarganya berasal dari Maqarizah, sebuah desa yang terletak di kota Ba’labak. Oleh karena itu, ia cenderung dikenal sebagai Al-Maqrizi.
Kondisi ekonomi ayahnya yang lemah menyebabkan pendidikan masa kecil dan remaja Al-Maqrizi berada di bawah tanggungan kakeknya dari pihak ibu, Hanafi ibn Sa’igh, seorang penganut mazhab Hanafi. Al-Maqrizi muda pun tumbuh baedasarkan pendidikan mazhab ini. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tahun 786 H (1384 M), Al-MAqrizi beralih kemazhab ke mazhab syafi’i. bahkan, dalam perkembangan, pemikirannya, ia terlihat cenderung menganut mazhab Zhahiri.[21]
Ketika berusia 22 tahun, Al-Maqrizi mulai terlibat dalam berbagi tugas pemerintahan dinasti mamluk. Pada tahun 788 H (1386 M), Al-Maqrizi memulai kiprahnya sebagai pegawai didiwan Al-Insya’, semacam sekretariat Negara. Kemudian, ia diangkat menjadi wakil qhadi pada kantor hakim agung mazhab syafi’I, hatib di masjid jami’ amr dan madrasah Al-sultan Hasan, imam masjid jami Al-Hakim, dan guru hadis dimadrasah di Al-Muayyadah.[22]
Pada tahun 791 H (1389 M), sultan Barkuq mengangkat Al-Maqrizi sebagai muhtasib dikairo. Jabatan tersebut di embannya selama 2 tahun. Pada masa ini Al-Maqrizi mulai banyak bersentuhan dengan berbagai permasalahan pasar, pedagangan, dan mudharabah, sehingga perhatiaanya terpokus pada harga-harga yang berlaku, asal usul uang, dan kaidah-kaidah timbangan.
Pada tahun 811H (1408 M), Al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administrasi wakaf di Qalanisiyah, sambil bekerja dirumah sakit Annuri, damaskus. Pada tahun yang sama ia menjadi guru hadis dimadrasah kemudian, sultan Al-Malik Al-Mashir faraj bin Barkuk (1399-1412 M) menawarinya jabatan wakil pemerintah dinasti mamluk didamaskus.  Namun, tawaran ini ditolak Al-Maqrizi.[23]
Setelah sekitar 10 tahun menetap didamaskus, Al-Maqrizi kembali ke Kairo. Sejak itu, ia mengundurkan diri sebagai pegawai pemerintahdan menghabiskan waktunya untuk ilmu. Pada tahun 834 H (1430 M), ia bersama keluarganya menunaikan ibadah haji dan bermukim di makkah selama beberapa waktu untuk menuntut ilmu serta mengajarkan hadis dan menulis sejarah.
Lima tahun kemudian, Al-Maqrizi kembali ke kampung halamannya barjuwan, kairo. Disini,ia juga aktif mengajar dan menulis, turutama sejarah Islam, hingga terkenal sebagai seorang sejarawan besar pada abad ke-9 H. Al-Maqrizi meninggal dunia pada tanggal 27 Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan 9 februari 1442 M.[24]

B.     Pemikiran ekonomi Al-Maqrizi
Al-Maqrizi berada pada fase kedua dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam, sebuah fase yang memulai terlihat tanda-tanda melambatnya berbagai kegiatan intelektualn yang inovatif dalam dunia Islam. Latar belakang kehidupan Al-Maqrizi yang bukan orang sufi atau filosop dan relatiif didominasi oleh aktifitasnya sebagai sejarawan muslim sangat mempengaruhi cara pemikirannya tentang ekonomi. Ia senantiasa melihat setiap persoalan dengan flashback dan mencoba memotret apa adanya mengenai fenomena ekonomi suatu Negara dan mempokuskan perhatiannya pada beberapa hal yang mempengaruhinaik turunnya suatu pemerintahan. Hal ini berarti bahwa pemikiran-pemikiran ekonomi Al-Maqrizi cendrung positif, satu hal yang unik dan menarik pada fase kedua yang notabebe didominasi oleh pemikiran yang normative.
Al-Maqrizi merupakan pemikir ekonomi Islam yang melakukan studi khusus tentang “uang dan inflasi”.[25] Focus perhatian Al-Maqrizi terhadap dua aspek yang dimasa pemerintahan Rasulullah dan Ak-Khulafa Arrasyidun tidak menimbulkan masalah ini, tampaknya, dilatarelakangi oleh semakin banyaknya penyimpangan nilai-nilai Islam, terutama dalam kedua aspek tersebut, yang dilakukan oleh kepala pemerintahan bani Umayyah dan selanjutnya.[26]
1.      konsep uang
         Sebagai seorang sejarawan, Al-Maqrizi mengemukakan beberapa pemikiran tentang uang melalui penelaahan sejarah mata uang yang digunakan oleah umat manusia. Pemikirannya ini meliputi sejarah dan fungsi uang, inflikasi penciptaan mata uang buruk, dan daya bli uang.
a.       Sejarah dan fungsi uang
Bagi Al-Maqrizi, mata uang mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehiduupan umat manusia karena, dengan menggunakan uang, manusia dapat memenuhi kebutuhan hidup serta memperlancar aktivitas kehidupannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan validitas premisenya terhadap permasalahan ini, ia mengungkapkan sejarah penggunaan mata uang oleh umat manusia, sejak masa lalu kala hingga masa hidupnya yang berada di bawah pemerintahan dinasti mamluk.
         Menurut Al-Maqrizi, baik pada masa sebelum maupun setelah kedatangan Islam, mata uang digunakan oleh umat manusia untuk menentukan berbagai harga barang dan biaya tenaga kerja. Untuk mencapai tujuan ini, mata uang yang dipakai hanya terdiri dari emas dan perak.[27]
 Dalam sejarah perkembangannya, Al-Maqrizi menguraikan bahwa Bangsa Arab jahiliyah menggunakan dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang mereka yang masing-masing diadopsi dari Romawi dan Persia serta mempunyai bobot dua kali lebih berat dimasa Islam.[28] Setelah Islam datang, Rasulullah saw menetapkan berbagai praktik muamalah yang menggunakan kedua mata uang tersebut, bahkan mengaitkannya dengan hokum zakat harta.[29] Penggunaan kedua mata uang ini terus berlanjut tanpa perubahan sedikitpun hingga tahun 18 H ketika Khalifah Umar ibn Al-Khattab menambahkan lafaz-lafaz Islam pada kedua mata uang tersebut.[30]
Perubahanyang sangat signifikan terhadap mata uang ini terjadi pada tahun 76 H. setelah berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanan, khalifah Abdul Malik ibn Marwan melakukan reformasi moneter dengan mencetak dinar dan dirham Islam.[31] Penggunaan kedua mata uang ini terus berlanjut, tanpa perubahan yang berarti, hingga pemerintah Al-Mu’thasim, khalifah terakhir dinasti Abbasyiah.
Dalam pandangan Al-Maqrizi,kekacauan mulai terlihat ketika pengaruh kaum mamluksemakin kuat di kalangan istana,termasuk terhadap kebajikan pencetakan mata uang dirham campuran.[32]pencetakan fulus,mata uang yang tercabut dari tembaga,dimulai pada masa pemerintahaan dinasti ayyubiyah,sultan Muhammad Al-kamil ibn Al-adil Al-ayyubi,yang dimaksudkan sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dengan rasio 48 fulus untuk setiap dirham-nya.[33]
Pasca pemerintahan sultan Al-kamil,pencetakan mata uang tersebut terus berlanjut hingga pejabat di tingkat provinsi terpengaruh laba yang besar dari aktivitas ini.kebijakan sepihak mulai di terapkan dengan meningkatkan volume pencetakan fulus dan menetapkan rasio 24 fulus per dirham.akibatnya,rakyat menderita kerugian besar karena barang-barang yang dahulu berharga ½ dirham sekarang menjadi 1 dirham.[34]keadaan ini semakin memburuk ketika aktivitas pencetakan fulus meluas pada masa pemerintahan sultan Al-adil kitbugha dan sultan Al-zahir barquq yang mengakibatkan penurunan nilai mata uang dan kelangkaan barang-barang.[35]
Berbagai fakta sejarah tersebut,menurut Al-maqrizi,mengindikasikan bahwa mata uang yang dapat  diterima sebagai standar nilai,baik menurut hokum,logika,maupun tradisi,hanya yang terdiri dari emas dan perak.oleh karena itu,mata uang yang menggunakan bahan selain kedua logam ini tidak layak disebut sebagai mata uang.[36]
Lebih lanjut,ia menyatakan bahwa keberadaan fulus tetap diperlukan sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dan untuk berbagai biaya kebutuhan rumah tangga sehari-hari.[37]dengan kata lain,penggunaan fulus hanya diizinkan dalam bebagai trnsaksi yang berskla kecil.
Sementara itu,menekankan urgensi penggunaan kembali mata uang yang terdiri emas dan perak,Al-Maqrizi menyadari bahwa uang merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhi kenaikan harga-harga.Menurytnya,penggunaan mata uang emas dan perak tidak serta merata menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi juga dapat terjadi akibat faktor alam dan tindakan sewenang-wenang dari penguasa.[38]
b.      Implikasi Penciptaan Mata Uang Buruk
              Al-Maqrizi menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan kualitas yang buruk akan melenyapkan mata uang yang berkualitas baik.[39]hal ini terlihat jelas ketika ia menguraikan situasi moneter pada tahun 569 H. Pada masa pemerintahan sultan salahuddin Al-ayyubi ini,mata uang yang dicetak mempunyai kualitas yang sangat rendah di bandingkan dengan mata uang yang telah ada diperedaran.Dalam menghadapi kenyataan tersebut,masyarakat akan lebih memilih untuk menyimpan mata uang yang berkualitas baik dan meleburnya menjadi perhiasan serta melepaskan mata uang yang berkualitas buruk kedalam peredaran.akibatnya, mata uang lama keluar dari peredaran.
              Menurut Al-maqrizi, hal trsebut juga tidak terlepas dari pengaruh pergantiaan penguas dan dinasti yang masing-masing menerapkan kebijakan yang berbeda dalam pencetakan bentuk serta nilai diham dan dinar. Sebagai contoh,jenis dirham yang telah ada dirubah hanya untuk merefleksikan penguasa pada saat itu. Dalam kasus yang lain,terdapat beberapa perubahan tambahan pada komposisi logam yang membentuk dinar dan dirham.[40] Konsekwensinya,terjadi ketidak seimbangan dalam kehidupan ekonomi ketika persediaan logam bahan mata uang tidak mencukupi untuk memproduksi sejumlah unit mata uang. begitu pula halnya ketika harga emas atau perak mengalami penurunan.[41]
c.       Konsep Daya Beli Uang
        Menurut Al-maqrizi, pencetakan mata uang harus disertai dengan perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk menggunakan mata uang tersebut dalam bisnis selanjutnya. Pengabaiain terhadap hal ini, sehingga terjadi peningkatan yang tidak seimbang dalam pencetakan uang dengan aktifitas produksi dapat menyebabkn daya beli riil uang mengalami penurunan.[42]
              Dalam hal yang demikian,Al-Maqrizi memperingatkan para pedagang agar tidak terpukau dengan peningkatan laba nominal mereka. Menurutnya, mereka akan menyadari hal tersebut ketika membelanjakan sejumlah uang yang lebih besar untuk berbagai macam pengeluaranya. Dengan kata lain, seorang pedagang dapat terlihat memperoleh keuntugan yang lebih besar sebagai seorang produsen. Namun, sebagai seorang konsumen, ia akan menyadari bahwa dirinya tidak memperoleh keuntugan sama sekali.[43]

2. Teori Inflasi
a. Inflasi alamiah
           Inflasi jenis ini disebabkan oleh bebagai faktor alamiah yang tidak bisa dihindari umat mausia. Menurut Al-Maqrizi, ketika suatu bencana alam tejadi, bebagai bahan makanan dan hsil bumi lainnya mengalami gagal panen, sehingga persedian barang-barang tersebut mengalami penurunan yang sangat drastis dan terjadi kelangkaan. Karena sifatnya yang sangat signifikan dalam kehidupan, permintaan terhadap berbagai barang itu mengalami peningkatan. Harga-harga membumbung tinggi jauh melebihi daya beli masyarakat. Hal ini sangat berinflikasi terhadap kenaikan harga berbagai barang dan jasa lainnya. Akibatnya, trnsaksi ekonomi mengalami kemacetan, bahkan berhenti sama sekali, yang pada akhirnya menimbulkan bencana kelaparan, wabah penyakit, dan kematian di kalangan masyarakat. Keadaan yang semakin memburuk tersebut memaksa rakyat untuk menekan pemerintah agar segera memperhatikan keadaan mereka. Untuk menanggulangi bencana itu, pemerintah mengeluarkan sejumlah besar dana yang mengakibtkan perbendaharaan Negara mengalami penurunan drastis karena, disisi lain, pemerintah tidak memperoleh pemasukan yang berarti. Dengan kata lain, pemerintah mengalami defisit angaran dan Negara, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial, menjadi tidak stabil yang kemudian menyebabkan keruntuhan sebuah pemerintahan.[44] Sekalipun suatu bencana telah berlalu, kenaikan harga-harga tetap berlangsung. Hal ini merupakan inflikasi dari bencana alam sebelumnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi, terutama disektor produksi mengalami kemacetan. Ketika situasi telah normal, persedian barang-barang yang signifikan, seperti benih padi,tetap tidak beranjak naik, bahkan tetap langka, sedangkan permintaan terhadapnya meningkat tajam. Akibatnya, harga barang-barang ini mengalami kenaikan yang kemudian di ikuti oleh kenaikan harga berbagai jenis barang dan jasa lainnya, termasuk upah dan gaji para pekerja.[45]

b. Imflasi Karena Kesalahan Manusia
1. Korupsi dan Administrasi yang buruk
           Al-Maqrizi menyatakan bahwa pengangkatan para pejabat pemerintah yang berdasarkan pemberian suap, dan bukan kabilitas, akan menempatkan orang-orang yang tidak mempunyai kredibilitas pada berbagai jabatan penting dan terhomat, baik dikalangan legislatife, yudikatif, maupun eksekutif. Mereka rela menggadaikan seluruh harta miliknya sebagai konpensasi untuk meraih jabatan yang diinginkan serta kebutuhan sehari-hari sebagai pejabat. Akibatnya para pejabat pemerintahan tidak lagi bebas dari intervensi dan intik para kroni istana. Mereka tidak hanya mungkin disingkirkan setiap saat tetapi disita kekayaanya,bahkan dieksekusi. Kondisi ini selanjutnya sangat mempengaruhi moral dan efisiensi administrasi sipil dan militer. Ketika berkuas, para pejabat tersebut mulai menyalahgunakan kekuasaan untuk meraih kepentingan pribadi, baik untuk memenuhi kewajiban finansialnya maupun kemewahan hidup. Merka berusaha mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara. Merajalelanya ketidakadilan para pejabat tersebut telah membuat kondisi rakyat semakin memprihatinkan, sehingga mereka terpaksa meningggalkan kampung halaman dan pekerjaanya. Akibatnya, terjdi penurunan drastis jumlah penduduk dan tenaga kerja serta hasil-hasil produksi yang sangat berimplikasi terhadap penurunan penerimaan pajak dan pendapatan Negara.[46]

2.      Pajak Yang Berlebihan
Menurut Al-maqrizi, akibat dominasi para pejabat bemental korup dalam suatu pemerintahan, pengeluaran Negara mengalami peningkatan yang sangat drastis. Sebagai konpensasinya, mereka menerapkan sistem perpajekan yang menindas rakyat dengan memberlakukan bebagai pajak baruserta menaikan tingkat pajak yang telah ada. Hal ini sanagat mempengaruhi kondisi para petani yang merupakan kelompok  mayoritas dalam masyarakat. Para pemilik tanah yang ingin selalu berada dalam kesenangan akan melimpahkan beban pajak kepada para petani melalui peningkatan biaya sewa tanah. Karena tertarik dengan hasil pajak yang sanagat menjanjikan, tekanan para pejabat dan pemilik tanah terhadap para petani menjdi lebih besar dan intensif. Frekwensi berbagai pajak untuk pemeliharaan bendungan dan pekerjaan-pekerjaan yang serupa semakin meningkat. Konsekwensinya, biaya-biaya untuk penggarapan tanah, penaburan benih, pemungutan hasil panen, dan sebagainya meningkat. Dengan kata lain, panen padi yang di hasilkan pada kondisi ini membutuhkan biaya yang lebih besar hingga melebihi jangkauan para petani. Kenaikan harga-harga tersebut, terutama benih padi, hamper mustahil mengalami penurunan karena sabagian besar benih padi dimiliki oleh para pejabat yang sangat haus kekayaan akibatnya, para petani kehilangan motivasi untuk bekerja dan memproduksi. Mereka lebih memilih meninggalkan tempat tinggal dan pekerjaanya dari pada selalu hidup dalam penderitaan untuk kemudian menjadi pengembara didaerah-daerah pedalaman. Dengan demikian, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja dan peningkatan lahan tidur yang akan sanagat mempengaruhi tingkat hasil produksi padi serta hasil bumi lainya dan pada akhirnya, menimbulkan kelangkaan bahan makanan serta meningkatnya harga-harga.[47]

3.      Peningkatan Sirkulasi Mata Uang Fulus
Keadaan ini, menempatkan fulus sebagai standar nilai bagi sebagian besar barang dan jasa. Kebijakan pencetakan fulus secara besar-besaran, menurut Al-Maqrizi, sangat mempengaruhi penurunan nilai mata uang secara drastic. Akibatnya, uang tidak lagi bernilai dan harga membumbung tinggi. Yang pada gilirannya menimbulkan kelangkaan bahan makanan.[48]

Wawasan Modern Teori Al-Maqrizi
         Ekonomi modern di barat pada umumnya membagi penyebab inflasi menjadi dua yaitu cos-push inflation dan demand-pull inflation tanpak bahwa Al-Maqrizi lebih memahami apa yang sebenarnya mengakibatkan inflasi karena baik inflasi yang disebabkan oleh sebab-sebab alamiah maupun inflasi karena ulah kesalahan manusia keduanya dapat berbentuk cos-push maupun demand-pull.


Abdul Aziz Dahlah. Suplemen Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996). jilid 2.

Muhammad Khalid Mas’ud. Filsafat Hukum Islam: studiFilsafat Hukum Islam: Studi  tentang Hidup dan Pemikiran al-Syatibi. (Bandung: penerbit pustaka,1996), Cet. Ke-1.
Al-Syatibi. al-Muafaqat fi Ushulal-Syari’ah. (Kairo: Musthafa Muhammad), jilid 2.
Asafri Jaya Bakri. Konsep Maqhasid Syari’ah Menurut al-Syatibi. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-1

Adiwarman Azar Karim. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer. (Jakarta: Gema Insani Press,2001), Cet.ke-1.

Adiwarman Azwar Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004)


[1] Sekalipun namanya dinisbatkan ke daerah ini, Imam Al-Syatibi tidak dilahirkan di sana. Menurut catatan sejarah, kota Syatibah telah jatuh ketangan Kristen yang mengakibatkan terusirnya seluruh penduduk Muslim dari kota itu sejak tahun 645 H (1247), sekitar satu abad sebelum kelahiran Imam Al-Syatibi, dan sebagian besar diantaranya berhijrah ke Granada. Abdul Aziz Dahlah, et.al.,Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve1996), jilid 2, hlm.187.
[2] Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam: studiFilsafat Hukum Islam: Studi  tentang Hidup dan Pemikiran al-Syatibi, (Bandung: penerbit pustaka,1996), Cet. Ke-1, hlm.111.
[3] Abdul Wahab Khalla, ‘Ilm Usul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah,1968), hlm.32.
[4] Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka,1984), hlm.140.
[5] Al-Syatibi, al-Muafaqat fi Ushulal-Syari’ah, (Kairo: Musthafa Muhammad), jilid 2, hlm.3Muhammad), jilid 2, hlm.374
[6] Ibid., Jilid 1, hlm. 150
[7] Ibid., Jilid 2, hlm. 25.
[8] Ibid., hlm. 8.
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm16-17
[11] Asafri Jaya Bakri , Konsep Maqhasid Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-1 hlm.73
[12] Mustafa Anas Zarqa, Islamic Economics: an Approach to Human Welfare, dalam aidit Ghazali dan syed Omar (ed), Reading in the Concept and Methodology of Islamic Economics, (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publication, 1989), hlm. 35-36.
[13] Ibid., hlm.38.
                                                               [14] Muhammad Khalid Masud, op. cit., hlm.136.                                                              
[15] Ibid., 138-139.
[16] M. Fahim Khan, Shantibi’s Objektives of shari’ah and Some Implication for Consumer Theory, dalam Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (ed), Reading in Islamic Thought, hlm. 193.

[17] James H.Donelly, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, Fundamentals of Management, (New York: Irwin McGraw-Hill, 1998), hlm.267.
[18] Ibid., hlm. 268.
[19] Ibid., hlm. 270-271.
[20] Ibid., hlm.274.
[21] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Suplemen Ensiklopedi Islam, (akarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1999), jilid 2, hlm.42.
[22] Jamaliddin Al-Syayyal, Pengantar Al-Muhaqqiq, dalam Taqiyuddin Ahmad bin Ali Al-Maqrizi, Itti’azh Al-Hunafa bi Akhbar Al-Aimmah Al-Fathimiyyin Al-Khulafa, (Kairo: Lajnah Ihya Al-Turats Al-Islamy,1967), hlm.11-12.
[23] Hammdbin Abdurrahman Al-Janidal, loc.cit.
[24] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. Cit.
[25] M.Nejatullah Siddiqi, Recent Workss on History of Economic Thought in Islam: A Survey, op.cit., hlm. 50.
[26] Adiwarman Azar Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press,2001), Cet.ke-1, hlm. 67.
[27] Al-Maqrizi, Al-Nuqud Al-Qadimah Al-Islamiyah, dalam Al-Abb Al-Insitas Al-Karmali (ed.), Kitab al-Nuqud al-‘Arabiyahwa al-Islamiyah wa ‘Ilm al-Namyat, (Kairo: Maktabah Al-Tsaqafah Al-Diniyah,1986), Cet. Ke-2, hlm. 73.
[28] Ibid., hhlm. 28-30.
[29] Ibid., hlm. 35.
[30] Ibid., hlm. 37-38.
[31] Ibid.,  hlm. 40.
[32] Ibid., hlm. 57.
[33] Al-Maqrizi, Ighatsah Al-Ummah bi Kasyf Al-Ghummah, op.cit., hlm. 68-70.
[34] Ibid., hlm. 70.
[35] Ibid., hlm. 71-72
[36] Ibid., hlm.80.
[37] Al-Maqrizi, al-Nuqud al-Qadimah al-Islamiyah, op.cit., hlm., 76.
[38] Al-Maqrizi, Ighatsah al-Ummah bi Kasyf al-Ghummah, op.cit. hlm.83.
[39] Al-Maqrizi, al-Nuqud al-Qadimah al-Islamiyah, op.cit. hlm.66.
[40] Ibid., hlm. 66-67
[41] Ibid., hlm.67-68.
[42] Aidit Ghazali, Islamic Thinkers on Economic, Administration, dan Transaction, (Kuala Lumpur: Quill Publisher, 1991), Vol. 1, hlm. 159.
[43] Ibid.

[45] Ibid., hlm. 50-51.
[46] Ibid., hlm. 52-53.
[47] Ibid., hlm. 53-54
[48] Ibid., hlm.72

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Popular Post

My Blog List

Footer Widget 1

Texts

Footer Widget 3

Recent Posts

Label

Trending Topic

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Terbaru

Fakta

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © 2013 Artikel Mahasiswa -Dark Amaterasu Template -