Posted by : Unknown
Minggu, 10 Maret 2013
1. Biografi
Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah yang bernama
lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari
1263 M. (10 Rabiul Awwal 661 H). Ia berasal dari keluarga yang berpendidikan
tinggi. Ayah paman dan kakeqnya merupakan ulama besar Mazhab Hambali dan
penulis sejumlah buku.
Berkat kecerdasan dan
kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda telah mampu
menamatkan sejumlah mata pelajaran,
seperti tafsir, hadis, fiqih, matimatika, dan pilsafat serta berhasil menjadi
yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru ibnu Taimiyah berjumlah
200 orang, diantaranya adalah Syamsuddin Al Maqdisi, Ahmmad bin Abu Al Khair,
Ibnu Abi Al Yusr, dan Al Kamal bin Adul Majd bin Asakir.[1]
Ketika berusia 12 tahun,
Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya yaitu Syamsuddin Al Makdisi,
untuk mengeluarkan patwa. Pada saat yang bersamaan ia juga memulai kiprahnya
sebagai seorang guru. Kedalaman ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dari
pemerintah paada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan.
Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang
ditentukan oleh penguasa, ia menolak tawaran tersebut. [2]
2. Pemikiran Ekonomi
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya
tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Syar’iyyah fi Ishlah
ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.
1. Harga yang Adil,
Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga
a. Harga yang Adil
Konsep harga yang adil pada hakikatnya telah
ada dan digunakan sejak awal kehadiran Islam. Al-Quran sendiri sangat
menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu,
adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar,
khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw. menggolongkan riba
sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.[3]
Istilah harga adil telah disebutkan dalam
beberapa hadits nabi dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam
kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Dalam hal ini, budak tersebut
menjadi manusia merdeka dan pemiliknya memperoleh sebuah kompensasi dengan hara
yang adil (qimah al-adl).
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang
setara (‘iwadh al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil (tsaman
al-mitsl). Persoalan tentang kompensas yang adil atau setara (‘iwadh
al-mitsl) muncul ketika mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum.
Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung dalam beberapa kasus berikut:
(a) Ketika
seseorang harus bertanggung jawab karena membahayakan orang lain atau merusak
harta dan keuntungan.
(b)
Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali sejumlah
barag atau keuntunganyang setara atau membayar ganti rugi terhadap luka-luka
sebagian orang lain.
(c)
Ketika seseorang diminta untuk menentukan akad yang rusak (al-‘ukud
al-fasidah) dan akad yang shahih (al-uqud al-shahihah) dalam suatu
peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan dan hak milik.
Prinsip umum yang sama berlaku pada pembayaran
iuran kompensasi lainnya. Misalnya :
(a)
Hadiah yang diberikan oleh gubernur kepada orang-orang Muslim, anak-anak yatim
dan wakaf.
(b)
Kompensasi oleh sgen bisnis yang menjadi wakil untuk melakukan pembayaran
kompensasi.
(c)
Pemberian upah oleh atau kepada rekan bisnis (al-musyarik wa al-mudharib)[4]
Konsep Upah yang Adil
Pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah
yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereka dapat hidup secara
layak ditengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah
mengacu pada tingkat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja (tas’ir fil
a’mal) dan menggunakan istilah upah yang setara (ujrah al-mitsl).
Seperti halnya harga, prinsip dasar yang
menjadi objek observasi dalam menentukan suatu tingkat upah adalah definisi
menyeluruh tentang kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduannya
tidak pasti dan tidak ditntukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui
jenisnya, merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.[5]
Konsep Laba yang Adil
Ibnu taimiyah mengakui ide tentang keuntungan yang merupakan motivasi para
pedagang. Menurutnya, para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara
yang dapat diterima secara umum (al-ribh al ma’ruf) tanpa merusak
kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
Berdasarkan definisi harga yang adil, Ibnu Taimiyah mendefinisikan laba yang
adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan
tertentu, tanpa merugikan orang lain. Ia menentang keuntungan yang tidak lazim,
bersifat eksploitatif (gaban fahisy) dengan memanfaatka ketidakpedulian
masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada (mustarsil).
Relevansi Konsep Harga Adil dan Laba yang Adil
Bagi Masyarakat
Tujuan utama dari harga yang adil dan berbagai permasalahan lain yang terkait
adalah untuk menegakan keadilan dalam bertransaksi pertukaran dan berbagai
hubungan lainya di antara anggota masyarakat.kedua konsep ini juga dimaksudkan
sebagai panduan bagi para penguasa untuk melindungi masyarakat dari berbagai
tindakan eksploitatif.dengan kata lain,pada hakikatnya konsep ini akan lebih
memudahkan bagi masyarakat dalam mempertemukan kewajiban moral dengan kewajiban
finansial.
Dalam pandangan
Ibnu Taimiyah,adil bagi para pedagang berarti barang~barang dagangan mereka
tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilang keuntungan
normal mereka.
b. Mekanisme pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang
jelas tentang bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh
kekuatan permintaan dan penawaran. Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber
persedian, yakni produksi local dan impor barang~barang yang diminta (mayukhlaq
aw yujlab Min dzalik al~mal al~matlub). Untuk menggambarkan
permintaanterhadap suatu barang tertentu,ia menggunakan istilah raghbah
fial~syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu,yakni barang. Hasrat merupakan
salah satu factor terpenting dalam permintaan, factor lainya adalah pendapatan
yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah perubahan dalam supply digambarkanya
sebagai kenaikan atau penurunandalam persediaan barang-barang, yang di sebabkan
oleh dua factor,yakni produksi local dan impor.
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa factor yang memengaruhi permintaan serta
konsekuensinya terhadap harga, yaitu :
1)
Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap
berbagai jenis barang yang
berbeda dan selalu berubah-ubah.
2)
Jumlah para peminat (tullab) terhadap suatu barang.
3)
Lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau
kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan.
4)
Kualitas pembeli jika pembeli adalah seorang yang kaya dan terpercaya dalam membayar
utang,harga yang diberikan lebih rendah.
5)
Jenis uang yang digunakan dalam transaksi.
6)
Tujuan transaksi yng menghendaki adanya kepemilikan resiprokal di antara kedua
belah pihak.
7)
Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau
penjual.[6]
c. Regulasi
harga
Setelah menguraikan secara panjang lebar
tentang konsep harga yang adil dan mekanisme pasar, Ibnu Taimiyah melanjutkan
pembahasan dengan pemaparan secara detail mengenai konsep kebijakan
pengendalian harga oleh pemerintah. seperti yang akan terlihat , tujuan
regulasi harga adalah untuk menegakan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat.
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan
harga,yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga
yang adil dan sah menurut hukum.penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum
adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi
akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand.[7]
1) Pasar yang tidak sempurna
Di samping dalam kondisi kekeringan dan perang,
Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar
melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidaksempurnaan melanda
pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual (arbab al-sila`) menghentikan
penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada
harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat bersamaan masyarakat
membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta untuk menjual
barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari pasar yang tidak sempurna
adalah adanya monopoli terhadap makanan dan barang-barang
kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus menetapkan
harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang
monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena
akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.
2) Musyawarah untuk Menetapkan
Harga
Sebelum menerapkan kebijakan penetapan harga,
terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat
terkait.Secara jelas, ia memaparkan kerugian dan bahaya dari penetapan harga
yang sewenang-wenang yang tidak akan memperoleh dukungan luas, seperti
timbulnya pasar gelap atau manipulasi kualitas tingkat barang yang dijual pada
tingkat harga yang ditetapkan. Berbagai bahaya ini dapat direduksi, bahkan
dihilangkan, apabila harga-harga ditetapkan melalui proses musyawarah dan
dengan menciptakan rasa tanggung jawab moral serta dedikasi terhadap kepentingan
publik.
Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang regulasi harga
ini juga berlaku terhadap berbagai faktor produksi lainnya. Seperti yang telah
disinggung jasa mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya atau
terjadi ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja, pemerintah harus menetapkan
upah para tenaga kerja. Tujuan penetapan harga ini adalah untuk melindungi para
majikan dan para pekerja dari aksi saling mengeksploitasi di antara mereka.[8]
2. Uang dan Kebijakan
Moneter
a.
Karakteristik dan Fungsi Uang
Secara khusus Ibnu Taimiyah menyebutkan dua
utama fingsi uang yaitu sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi
sejumlah barang yang berbeda. Ia menyatakan,
“Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan
sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah
nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah
dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Berdasarkan pandangannya tersebut, Ibnu
Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti
mengalihkan fungsi uang dari tujuan sebenarnya. Apabia uang dipertukarkan
dengan uang yang lain, pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan
(taqabud) dan tanpa penundaan (hulul). Dengan cara ini, seseorang dapat
mempergunakan uang sebagai sarana untuk memperoleh berbagai kebutuhannya.[9]
b.
Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya
penurunan nilai mata uang dan percetakan mata uang yang sangat banyak. Ia
menyatakan,
Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain dari emas dan perak)
sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa
menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu
Taimiyah memiliki beberapa pemikiran tentang hubungan antara jumlahh mata uang,
total volume transaksi dan tingkat harga. Pernyataanya tentang volume fulus
harus sesuai dengan proporsi jumlah transaksi yang terjadi adalah untuk
menjamin harga yang adil. Ia menganggap bahwa nilai intrinsik mata uang,
misalnya nilai logam, harus sesuai dengan daya beli di pasar sehingga tdak
seorang pun, termasuk penguasa, dapat mengambil untung dengan melebur uang
tersebut dan menjual dalam bentuk logam atau mengubah logam tersebut menjadi
koin dan memasukkannya dalam peredaram mata uang.
c.
Mata Uang yang Buruk Akan Menyngkirkan Mata Uang yang Baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang
berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari
peredaran. Ia menggambarkan hal ini sebagai berikut:
“Apabila penguasa membatalkan pengggunaan mata
uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini
akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai uang
lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena
menghilanhkan nlai tinggi yang semuka mereka miliki. Lebih daripada itu,
apabila nilai intrisik mata uang tersebut berbeda, hal iniakan menjadi sebuah
sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk
dan menukarnya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawannya
kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut
untuk dibawa lagi kedaerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat
akan menjadi hancur.
Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah
menyebutkan akibat yang terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi
masyarakat yang sudah trlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian
dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan
sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama dibanding dengan
ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran mata
uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk
barang-barang mereka.[10]
B. PEMIKIRAN EKONOMI IBNU
KHALDUN
1.
Biografi
Ibnu Khaldun
Lelaki yang lahir di
Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai sejarawan
dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli
politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena
pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh
telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo
(1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia
remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan
pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan
terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang
luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas
pula.
Selain itu dalam
tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai peristiwa, baik suka dan
duka. Ia pun pernah menduduki jabatan penting di Fes, Granada, dan Afrika Utara
serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun
oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang
monumental hingga saat ini. Nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai
penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu
Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan
hidup beliau. Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih,
tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan
matematika.
2.
Pemikiran
Ekonomi
Ibnu Khaldun dalam buku karyanya
“Muqaddimah” mengemukakan sebuah teori “Model Dinamika” yang mempunyai
pandangan jelas bagaimana faktor-faktor dinamika sosial, moral, ekonomi, dan
politik saling berbeda namun saling berhubungan satu dengan lainnya bagi kemajuan
maupun kemunduran sebuah lingkungan masyarakat atau pemerintahan sebuah wilayah
(negara). Ibnu Khaldun telah menyumbangkan teori produksi, teori nilai, teori
pemasaran, dan teori siklus yang dipadu menjadi teori ekonomi umum yang koheren
dan disusun dalam kerangka sejarah.
Dalam penentuan harga di pasar atas sebuah produksi, faktor
yang sangat berpengaruh adalah permintaan dan penawaran. Ibnu Khaldun
menekankan bahwa kenaikan penawaran atau penurunan permintaan menyebabkan
kenaikan harga, demikian pula sebaliknya penurunan penawaran atau kenaikan
permintaan akan menyebabkan penurunan harga. Penurunan harga yang sangat
drastis akan merugikan pengrajin dan pedagang serta mendorong mereka keluar
dari pasar, sedangkan kenaikan harga yang drastis akan menyusahkan konsumen.
Harga “damai” dalam kasus seperti ini sangat diharapkan oleh kedua belah pihak,
karena ia tidak saja memungkinkan para pedagang mendapatkan tingkat
pengembalian yang ditolerir oleh pasar dan juga mampu menciptakan kegairahan
pasar dengan meningktakan penjualan untuk memperoleh tingkat keuntungan dan
kemakmuran tertentu. Akan tetapi, harga yang rendah dibutuhkan pula, karena
memberikan kelapangan bagi kaum miskin yang menjadi mayoritas dalam sebuah
populasi.
Dengan demikian, tingkat harga yang stabil dengan biaya
hidup yang relatif rendah menjadi pilihan bagi masyarakat dengan sudut pandang
pertumbuhan dan keadilan dalam perbandingan masa inflasi dan deflasi. Inflasi
akan merusak keadilan, sedangkan deflasi mengurangi insentif dan efisiensi. Harga
rendah untuk kebutuhan pokok seharusnya tidak dicapai melalui penetapan harga
baku oleh negara karena hal itu akan merusak insentif bagi produksi.
Faktor yang menetapkan penawaran,
menurut Ibnu Khaldun, adalah permintaan, tingkat keuntungan relatif, tingkat
usaha manusia, besarnya tenaga buruh termasuk ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki, ketenangan dan keamanan, dan kemampuan teknik serta perkembangan
masyarakat secara keseluruhan. Jika
harga turun dan menyebabkan kebangkrutan modal menjadi hilang, insentif untuk
penawaran menurun, dan mendorong munculnya resesi, sehingga pedagang dan
pengrajin menderita. Pada sisi lain, faktor-faktor yang menentukan permintaan
adalah pendapatan, jumlah penduduk, kebiasaan dan adat istiadat masyarakat,
serta pembangunan dan kemakmuran masyarakat secara umum.
Menurut Ibnu Khaldun, seorang individu
tidak akan dapat memenuhi seluruh kebutuhan ekonominya seorang diri, melainkan
mereka harus bekerjasama dengan pembagian kerja dan spesialisasi. Apa yang dapat dipenuhi melalui
kerjasama yang saling menguntungkan jauh lebih besar daripada apa yang dicapai
oleh individu-individu secara sendirian. Dalam teori modern, pendapat ini mirip
dengan teori comparative advantage.
Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan
seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis
dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak). Pajak dan bea
cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif
berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan
membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan
pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.
Perekonomian yang makmur di awal suatu
pemerintahan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih tinggi dari tarif pajak
yang lebih rendah, sementara perekonomian yang mengalami depresi akan
menghasilkan penerimaan pajak yang lebih rendah dengan tarif yang lebih tinggi.
Alasan terjadinya hal tersebut
adalah rakyat yang mendapatkan perlakuan tidak adil dalam kemakmuran mereka
akan mengurangi keinginan mereka untuk menghasilkan dan memperoleh kemakmuran.[11]
Kontribusi Ibnu Khaldun dalam pengembangan ilmu pengetahuan
cukup signifikan, namun sayang beliau lahir pada saat dunia Islam mulai
mengalami kemunduran. Kemunduran umat Islam dimulai sejak abad ke 12 ditandai
dengan kemerosoatan moralitas, hilangnya dinamika dalam Islam setelah munculnya
dogmatisme dan kekakuan berfikir, kemunduran dalam aktivitas intelektual dan keilmuan,
pemberontakan-pemberontakan lokal dan perpecahan di antara umat, peperangan dan
serangan dari pihak luar, terciptanya ketidakseimbangan keuangan dan kehilangan
rasa aman terhadap kehidupan dan kekayaan, dan faktor-faktor lainnya yang
mencapai puncaknya pada abad ke 16 pada masa Dinasti Mamluk Ciscassiyah yang
penuh korupsi sehingga mempercepat proses kemunduran tersebut.
Kemajuan dan kemunduran yang dialami oleh umat Islam itu,
bukanlah seperti sebuah garis lurus, tetapi naik-turun dan berlangsung beberapa
abad lamanya. Berbagai upaya dan usaha telah dilakukan guna menghentikan
kemunduran itu, namun karena sebab utama tetap ada, maka kemerosotan terus
berlangsung hingga saat ini. Faktor utama untuk menghindari kemunduran tersebut
adalah dengan kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya yang berorientasi
kepada falah oriented, yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di
akhirat.
thanks bro tas artikel x, bermanfaat skli n izin save, hehe
BalasHapus