Posted by : Unknown
Senin, 02 Mei 2016
Siang
sabtu selepas kuliah saya langsung pulang menuju kos di dasan agung, hari itu
menjadi hari yang tidak biasa karena biasanya selepas kuliah saya menyempatkan
diri untuk mengobrol dan bercanda dengan teman teman kampus barang lima sampai
sepuluh menit sebelum akhirnya kami pulang bersama-sama. Sampai di kos saya
langsung rebahkan badan diatas kasur kusut dibalut kain warna putih bercorak
bunga mawar.
Siang
itu kakak misan saya yang menjadi teman kos tidak ada disana karena mungkin
sedang berada dikos temannya, maklum saja dia sudah semester akhir dan sedang
menyusun skripsi sehingga minggu-minggu ini dia jarang kelihatan di kos
sehingga saya sering tidur sendirian di kamar kos yang berukuran 4X5 itu.
Belum
lama badan saya berbaring melepas lelah, tiba tiba handphone saya berdering tanda panggilan
masuk, segera saya raih tas yang dari awal masuk kos saya taruh diatas lemari
mebel berwarna cokelat karena hape saya taruh di tas dan belum sempat
mengeluarkannya. Saya perhatikan layar hape dengan cermat ternyata yang
menghubungi nomor baru, dalam benak saya bergumam “ siapa gerangan orang yang
memanggil ini” tanpa berpikir panjang saya tekan tombol warna hijau tanda
menerima obrolan siang itu.
“Assalamualakum
warahmatullahiwabarkatuh” dia mengucap salam dengan nada khasnya, tanpa
bertanya saya sudah bisa menebak siapa gerangan orang ini, ya dia adalah salah
satu guru inspirator dan mentor yang semenjak duduk dibangku Aliyah, saya
banyak belajar darinya, belum sempat saya balas salamnya dia sudah kembali
menyapa “ Hai Boy..! Apa Kabar” saya semakin yakin dengan tebakan saya,
karena hanya beliau yang selama ini memanggil saya Boy.
Ya dia
adalah Mr. Samsul Hakim, guru qur’an hadist yang kesehariannya hobi berkebun,
menembak dan mancing tanpa umpan, jika beliau tidak ada jam mengajar
dipesantren, beliau akan lebih memilih menghabiskan waktunya dikebun bercocok
tanam lalu malamnya menyusuri sungai dan perkebunan masyarakat dengan senapan
angin dipundaknya guna berburu.
“Waalaikumsalam
Wr. Wb, Alhamdulillah baik ust” jawab saya singkat, lalu beliau melanjutkan
maksud dan tujuannya menelpon saya, “ Begini Boy, di Darul Hikmah kita
sedang ada program English camp yang diikuti oleh anak kelas Lima, mereka ini
santri kelas lima yang tidak bisa ikut pergi ke pare bersama teman temanya
untuk kursus bahasa inggris karena beberapa alasan, nah agar mereka memiliki
kesetaraan skill dalam bahasa inggris dengan teman temannya yang pergi kepare,
saya mengusulkan agar mereka difokuskan belajar bahasa inggrisnya di darul
hikmah.” Siang menjelang sore itu tiba tiba beliau menjadi sangat vokal
persis seperti dosen yang sedang menjelaskan materi kuliah marketing, karena
setahu saya beliau adalah guru yang jarang sekali ngomong apabila itu tidak
penting, lebih lebih melalui handphone. Saya terus tetap menyimak penjelasannya
hingga ia benar benar selesai bahkan saya tidak diberikan kesempatan untuk
berkomentar.
Karena
mungkin beliau merasa penjelasannya cukup, lalu beliau menyuruh saya agar
sesekali main main ketempat kursus dan jika dirasa nyaman bisa langsung ikut
nimbrung di sana biar kuliah lewat sini saja. Waktu itu saya tidak langsung
mengiyakan karena harus memintak izin terlebih dahulu ke kakak misan teman kos
saya, karena bagaimanapun juga dia adalah orang tua saya di kos itu. Suara speaker
masjid perlahan mulai terdengar pertanda waktu ashar segera tiba, kamipun
menyelesaikan obrolan itu sambil mengucap “insyallah kapan kapan saya main
ke sana tad,” lalu mengucap salam untuknya.
sehari
setelah percakapan saya dengan Mr. Samuel (panggilan Populernya di pesantren
Nurul Haramain) saya cerita sekaligus mintak pendapat sama kakak saya tentang
obrolan tempo hari perihal kursus dan bila merasa nyaman saya akan menetap tinggal
disana sampai programnya selesai. Tanpa terlihat ragu di wajahnya dia sangat
mendukung dan mengapresiasi apapun rencana saya.
***
Hari senin
minggu itu, kuliah saya kosong, bukan karena senin tidak ada jadwal, hanya saja
dosen yang mengajar hari senin minggu itu sedang keluar kota untuk kepentingan
kampus. Memanfaatkan hari libur itu, sayapun siap-siap menuju tempat
kursusannya Mr. Samuel.
Pagi
senin itu menjadi langkah pertama saya menginjakkan kaki ditempat yang nanti
orang orang menyebutnya kampung naga. Sepanjang perjalanan, dalam bayangan saya
tempat itu mewah dengan fasilitas lengkap, memiliki gerbang dengan tembok
penyekat yang kokoh. Ternyata pada kenyataannya tempat itu sederhana bahkan
sangat sederhana, tidak ada tembok tidak ada gerbang tidak ada pula bangunan
permanen yang bisa tempati hanya ada barisan tiang tiang beton besar nan kokoh
menjulang tinggi menandakan suatu saat nanti tempat ini akan memiliki bangunan
berlantai.
Setelah
menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit dari mataram akhirnya tiba juga di
didesa tanak beak. Motor yang dari tadi saya kendarai dengan kecepatan tinggi
kini ampernya perlahan mulai turun dengan kecepatan rendah, sambil meraba
setiap sudut berharap tempat itu segera saya temukan, karena sebelumnya saya
tidak tahu persis lokasi yang dimaksud Mr Samuel dan hanya memberikan informasi
bahwa tempat itu berada persis di pinggir utara jalan, tengah sawah dan hanya
satu-satunya bangunan yang ada disekitaran itu.
Dari
plang yang bertuliskan selamat datang didesa tanak beak, mata mulai melirik
arah kiri kanan takut tempat itu terlewatkan, tak mempedulikan setiap
pengendara motor yang berlalu lalang menyalip dari tadi, bahkan beberapa pengendara sepeda motor membunyikan klakson
cukup keras memintak izin untuk menyalip, namun tak saya hiraukan, dan masih
tetap mengarahkan mata kearah utara jalan seperti yang diinformasikan.
Tak lama
kemudian terlihat dari kejauhan sebuah bangunan tanpa atap, hanya ada deretan
tiang tiang beton yang cukup besar dengan ruangan Bdek sederhana disampingnya.
Dalam hati saya cukup yakin bahwa tempat itulah yang saya cari.
Sesampai
disana saya menjadi tak begitu yakin
bahwa tempat itu yang dimaksud Mr. Samuel, sayapun memberhentikan motor
yang saya kendarai lalu mengambil ponsel di kantong celana sebelah kiri dan
mencari kontak Mr. Samuel lalu memanggilnya. “Assalmualkum sir saya sudah
ditanak beak pinggir jalan tengah sawah, apa benar ini lokasi yang antum
maksud” pertanyaan saya yang panjang dan kurang yakin sudah sampai dilokasi
membuat dia ketawa seolah berkata, kenapa,? Lokasinya tidak sesuai dengan
bayanganmu? Ya inilah lokasinya, beginilah suasananya..!
Belum
lama kami bercakap-cakap beliau tiba-tiba muncul dari gerbang melambaikan
tangan mengisyaratkan agar saya segera masuk. Saya kini menjadi yakin,
tempatnya tidak salah, yang salah bayangan saya yang mendiskripsikan tempat itu
seperti tempat kursus di kota kota pada umumnya.
Ditempat
itu dan pada pertemuan itu, menjadi pertemuan pertama kali saya dengan beliau
setelah hampir satu tahun tidak bertemu kembali semenjak keluar dari pondok.
Saya rasanya tidak sabar ingin menjambat tangat kasarnya, sehingga motor belum
terparkir dengan rapi saya sudah menjulurkan tangan dan mencium rindu telapak
tangan mengharap barokah darinya.
Hari itu
begitu cepat berlalu, Jam menunjukan pukul lima sore, tidak terasa sudah
seharian ngobrol dengan beliau, saat itu saya putuskan untuk tidak menginap disana
karena besok ada jam kuliah pagi, ditambah lagi tidak adanya pakian yang saya
bawa. Saya pamit dan menjabat tangannya erat sekali seolah esok tak akan
berjumpa kembali. Sebelum menghidupkan motor, beliau setengah berbisik agar
besok-besok saya bisa datang kembali dan berharap ikut nimbrung di sana. “nggeh
tad insyallah” kataku sambil berlalu meninggalkan tempat itu.
***
Keputusan
akan meningglkan kakak misan sendirian dan kontrakan kos yang masih tersisa
enam bulan lagi menjadi dilema tersendiri, bingung mau pilih yang mana, di satu
sisi makan saya mungkin akan terjamin kalau tinggal di tempat kursus yang
dimaksud Mr. Samuel, tapi jarak tempuh kuliah dengan tempat kursus menjadi
pertimbangan, apakah saya akan benar benar bisa melewati semuanya setelah nanti
berada di tempat kursus.
Seperti
biasa ibu kos akan membersihkan halaman kos setiap pagi seusai shalat subuh,
dan menyapa setiap anak kos yang bangun pagi untuk melaksanakan shalat subuh,
minimal bertanya gimana tidurnya?, semalam banyak nyamuk tidak?. Pertanyaan
seperti itu yang membuat saya merasa bahwa beliau adalah ibu saya, dan memang
pada kenyataannya beliaulah ibu setiap anak kos yang ada disana. Tapi kadang
kebanyakan merasa bahwa ibu kos adalah Pol. PP, karena setiap pulang telat dari
biasanya, mereka akan ditanya, udah kemana, kok pulangnya jam seginian? Atau
ketika bangun pagi, sedang matahari sudah cukup tinggi, sudah shalat subuh
belum?. Pertanyaan seperti itu bagi mereka sangat menjengkelkan, mereka seolah
mengatakan, jangan pedulikan apapun yang kami kerjakan, biarkan kami bebas
karena kami sudah dewasa, kami tahu mana yang harus kami lakukan.
Kesadaran
mereka akan esensi ibu kos itulah yang membuat sebagian merasa bahwa bertemu
ibu kos itu tidak mengasyikan tak seperti bertemu teman teman waktu dikampus.
Bagi saya ibu kos dan teman teman kampus sama saja, sama sama asyik,
permasalahannya adalah kita tidak menikmati saja.
Selesai shalat
subuh saya membersihkan ruangan luar tempat sepeda motor dan masak, karena kos
itu memilki dua ruangan. Ruang dalam untuk tidur dan belajar, sedang ruang luar
untuk parkir motor waktu malam dan masak. Setelah semua terlihat bersih saya
keluar dan menemukan ibu kos masih sibuk dengan daun daun mangga yang rimbun
didepan kontrakan kos. Dengan nada bercanda saya sapa ibu kos dengan menyuruh
agar pohon mangga ditebang saja supaya tidak terlalu capek setiap pagi
membersihkan halaman yang sampahnya didominasi oleh daun pohon mangga yang
berserakan.
Beliau
hanya membalas dengan senyum lalu melanjutkan kembali mengumpulkan setiap daun
yang berserakan tanpa menghiraukan candaan saya, dalam hati saya bergumam, loh
kenapa dengan ibu kos tidak biasanya judes seperti pagi ini, biasanya cukup
dengan sapaan singkat maka beliau yang akan banyak mengeluarkan kata-kata
dengan nada sejenis.
Saya
menjadi negatif thinking, dan membuat saya bertanya kepada diri sendiri, apa
saya pernah melakukan kesalahan beberapa hari belakangan ini sehingga membuat
beliau kecewa, lama setelah duduk didepan pintu kamar kos sambil menerawang
kesalahan apa yang membuat beliau begitu tak acuh.
Daun
daun mangga itu sudah terkumpul dan sudah dimasukan kedalam plastik hitam lalu
ditaruh dipinggir jalan depang gerbang halaman kos, beberapa menit kemudian
akan datang mobil warna kuning dari petugas kebersihan kota yang mengambil
setiap plastik dipinggir jalan sepanjang gank wilayah itu.
Saya
masih duduk termenung disana, sejurus kemudian beliau tiba tiba hadir dengan
secangkir kopi di tangan kanan dengan gelas agak besar, lalu menyapa saya, “eh
kenapa, muka kusut begitu kok disimpan” katanya sambil menyeruput kopi panas
yang masih terlihat mengeluarkan kukusnya, “ada masalah apa”? lanjutnya, dia
mulai terlihat bersahabat keibuannya sudah kembali pagi itu, “ahh, gak ada bu”
kataku singkat, “gak mungkin, saya sudah duluan lahir, wajah seperti itu sudah
sering saya temukan bahkan saya sendiri tak jarang memakainya” sambil tersenyum
beliau memulai candaan pagi itu.
Suasana
sudah mulai cair, disana saya curhat atas kegalauan dan mintak pendapat tentang
meninggalkan kos yang masih tersisa tinggal enam bulan lagi. Kata-katanya cukup
menyentuh, dan menjadi salah satu alasan penguat untuk meninggalkan kos itu. “kamu
masih muda, jarang anak muda mau menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang
bermanfaat, justru kebanyakan berpoya poya” begitulah kata-kata yang masih
terngiang ditelinga saya sampai hari ini.
***
ketika pertama
kali menginjakkan kaki ditempat itu, Masih teringat jelas bagaimana keringnya
jalan utama masuk ke tempat yang kini menjadi persinggahanku. pohon-pohon masih
sangat terlalu kecil untuk meneduhkan panasnya matahari di musim kemarau tiba.
rerumputanpun ikut tak menunjukan partisipasinya meramaikan tanah yang kini
kami sebut sebagai tanah kampung naga. karena hanya ada naga yang berdiri
melilit tiang-tiang beton sepanjang satu setengah meter di halamana depan
tempat itu.
di kala malam
tiba, suasana seperti tak ada kehidupan yang sesungguhnya. hanya ada bantuan
secercah cahaya lilin yang tak pernah saya tak syukuri. Desel yang kami punya
hanya di nyalakan saat ada siaran tv yang sangat menarik. Liga championpun tak
setiap malam dapat kami tonton, hanya pada pertandingan yang kami anggap
memanas baru kemudian kami tergesa-gesa mencari bensin untuk menghidupkan desel.
Saat itu, saya
baru duduk di semester III di salah satu kampus negeri di mataram, (IAIN
Mataram) setiap ingin berangkat kuliah harus mandi dengan bekas ikan, karena
memang air kamar mandi di alirkan dari sana, syukurnya adalah saya tak pernah
merasakan sakit kulit seperti perkiraan para dokter yang ketika kita
menggunakan air yang kurang bersih untuk mandi dan lain sebagainya maka kita
akan sering terkena penyakit, dalam hati saya membantin dan bersyukur inilah
berkah tuhan atas niat ikhlas melakukan perbuatan baik.
Waktu terus
berjalan dengan segala cara dan atas tuntunan petua kami, akhirnya satu tahun
lebih sudah berlalu, kekeringan yang dulu kami rasakan kini berubah menjadi
kesejukan yang luar biasa, rerumputan yang dulu enggan untuk tumbuh, kini tak
sedikit para pengembala sapi datang ke tempat kami untuk menyabit, pohon yang
dulu hanya sebatas pinggang kini sudah tak mampu tuk saya jumpai daunnya, lampu
sudah tak menjadi permasalahan, di setiap sudut area sudah terpasang
dengan tiang sederhana menjulang tinggi.
Air yang dulu
dipakai mandi berasal dari kolam ikan, kini sumur bor siap membasahi setiap
badan yang berkeringat, bahkan beberapa waktu silam, seorang team survieyor
asal jawa mendatangi tempat kami dan
mengambil sampel untuk mengetahui kandungan air yang ada disini, hasilnya
sangat mengejutkan bahwa kandungan air yang ada ditempat ini jauh lebih bagus
dari produk air gelasan yang beredar di pulau Lombok.