Archive for Maret 2013
PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATIBI (W.790 H/1388 M)
Jumat, 22 Maret 2013
Posted by Unknown
Tag :
semester 3
Riwayat Hidup
Al-syatibi
yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Syatibi
merupakan salah seorang cendikiawan Muslim yang belum banyak diketahui latar
belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama
Al-syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau
Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.[1]
Al-Syatibi
dibesarkan dan memperolehseluruh pendidikannya di ibu kota kerajaan Nashr,
Granada, yang merupakan benteng terakhir umat islam di Spanyol. Masa mudanya
bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang
merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan
ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada.
Suasana
ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi
Al-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam
meneliti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini
mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode)
maupun ‘ulum maqashid (esensi dan hakikat). Al-Syatibi memulai aktifitas
ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad
ibn Fakhkarn Al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad Al-Syatibi, dan Abu Ja’far
Ahmad Al-Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami hadits dari Abu Qasim
ibn Bina dan Syamsuddin Al-Tilimsani ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali
Mansur Al-Zawawi, ilu usul fiqh dariAbu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Miqarri
dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Syarif Al-Tilimsani, ilmu sastra dari
Abu BakarAl-Qarsyi Al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu
melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya,
seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad Al-Nafsi
Al-Rundi.
Meskipun
mempelajari dan mendalami berbagai ilmu,Al-Syatibi lebih berminat untuk
mempelajari bahasa Arab dan khususnya, usul fiqh. Ketertarikannya terhadap ilmu
usul fiqh karena menurutnya, metodologi dan falsafah fiqih islam merupakan
faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi
perubahan sosial.[2]
Setelah
memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi mengembangkan potensi
keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu
Yahya ibnAsim, Abu Bakar Al-Qadi dan Abu Abdillah Al-Bayani. Di samping itu, ia
juga mewarisi karya karya ilmiah, seperti syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi
al-Nahw dan Usul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi
Usul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fiqih.
Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Konsep Maqhasid al-Syari’ah
Sebagai
sumber utama agama Islam,Al-qur’an mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi
kandungan Al-qur’an dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak dan syari’ah.
Aqidah berkaitan dengan dasar dasar keimanan, akhlaq berkaitan dengan etika dan
syari’ah berkaitan dengan aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan
af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syari’ah), dalam sistematika hokum Islam,
dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habn
min al-nas).[3]
Alquran
tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Ia
hanya mengandung dasar dasar atau prinsip prinsip bagi berbagai masalah hokum
dalam Islam. Bertitik tolak dari dasar atu prinsip ini, Nabi Muhammad saw.
Menjelaskan melalui berbagai hadisnya. Kedua sumber inilah (Al-quran dan Hadis
Nabi) yang kemudian di jadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hokum Islam,
terutama di bidang muamalah. Dalam kerangka ini, Al-Syatibi mengemukakan konsep
maqashid al-syari’ah.
Secara
bahasa, Maqhasid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqhasid dan
al-Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atu tujuan, sedangkan al-Syari’ah
berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan kea rah
sumber pokok kehidupan.[4] Menurut istilah, Al-Syatibi menyatakan,
“Sesungguhnya
syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatn manusia di dunia dan di
akhirat”[5]
Dari
pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syaru\i;ah menurut Al-Syatibi
adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu
pun hukumAllah swt. yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak
mempunyai tujuan yang sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat
dilaksanakan.[6]kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai
segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia,
dan perolehan apa apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak .[7]
Kewajiban-kewajiban
dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang ada pada
gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Al-Syatibi menjelaskan
bahwa Syari’ah berurusan dengan perlindungan mashalih, dan dengan cara yang
positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, baik syari’ah mengambil
berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih; maupun dengan
cara preventif, seperti syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk
melenyapkanunsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.[8]
Pembagian Maqashid al-Syari’ah
Menurut
Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok
kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dapat dipelihara, yaitu agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqhasid menjadi
tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.[9]
Dharuriyat
Jenis
maqhasid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan
manusia di dunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok
dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan
dimuka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak. Pemeliharaan terhadap
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara
eksistensi kelima unsur pokok tersebut dlam kehidupan manusia dan melindunginya
dari berbagai hal yang dapat merusak. Sebagai contoh, penunaian rukun Islam,
pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri masing-masing merupakan
salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan
terhadap eksistensi harta.
Hajiyat
Jenis
maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan
dan menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan
manusia. Contoh jenis maqhasid ini antara lain mencakup kebolehan untuk
melaksanakan akad mudharabah, masaqat, muzara’ah dan bai salam, serta berbagai
aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan atau
menghilangkan kesulitan manusia di dunia.
Tahsiniyat
Tujuannya
adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan
pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk
menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak
sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia. Contoh jenis
maqashid ini antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta
pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.
Korelasi Antara Dharuriyat, Hajiyat dan Tahsiniyat
Dari
hasil penelaahnya secara lebih mendalam, Al-Syatibi menyimpilkan korelasi
antara dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat sebagai berikut.[10]
Maqhasid
dharuriyat merupakan dasar dari maqhasid hajiyat dan maqhasid tahsiniyat.
Kerusakan
pada maqhasid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqhasid hajiyat dan maqhasid
tahsiniyat.
Sebaliknya,
kerusakan pada maqhasid hajiyat dan maqhasid tahsiniyat tidak dapat merusak maqhasid
dharuriyat.
Kerusakan
pada maqhasid hajiyat dan maqhasid tahsiniyat yang bersifat absolute terkadang
dapat merusak maqhasid dharuriyat.
Pemeliharaan
maqhasid hajiyat dan maqhasid tahsiniyat diperlakukan demi pemeliharaan
maqhasid dharuriyat secara tepat.
Dengan
demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima
unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqhasid tersebut tidak dapat
dipisahkan. Tanpaknya, bagi Al-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurnaan
tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurnaan bagi tingkat
hajiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.
Pengklasifikasian
yang dilakukan Al-Syatibi tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemiliharaan
lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Disamping itu, pengklasifikasian
tersebut juga mengacu pada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang
diciptakan oleh Allah swt. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.[11]
Berkenaan
dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak berwujudnya
aspek dharuriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara
keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan
lima unsure pokok, tetapi hanya membawa kesulitanbagi mmanusia sebagai
mukhallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabaian terhadap aspek tahsiniyat
mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.[12] Lebih jauh, ia menyatakan segala aktivitas atau
sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan
maqhasid yang lebih tingggi (dharuriyat dan hajiyat).[13]
Beberapa Pandangan Al-Syatibi di bidang Ekonomi
Objek kepimilikan
Pada
dasarnya, Al-Syyatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak
kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat
hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan
penggunaan tidak bisa dimiliki oleh siapapun. Dalam hal ini, ia membedakan dua
macam air, yaitu: air yang tidak dapat dijadikan senagai objek kepemilikan,
seperti air sungai dan oase; dan air yang dapat dijadikan sebagi objek
kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah
meilik individu. Lebih jauh, ia menyatakan, bahwa tidak hak kepemilikan yang
dapt diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.[14]
2.pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi,
pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum).
Dengan mengutif para pendahulunya, seperti Al-Gazali dan Ibn Al-Fara’, ia
menyatkan bahwa pemiliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung
jawab masyarakat. Dalam kondisi tidakmam mampu melaksanakn tanggung jawab ini
masyarakat bisa mengalihkannya kepada baitul mal serta menyumbangkan sebagian
kekayaan merekasendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat
mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyat-rakyatnya sekalipun pajak tersebut
belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.[15]
Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Dari
pemaparan konsep maqhasid Al-Syari’ah diatas, terlihat jelas bahwa syari’ah
menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. A-Syatibi
menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syari’ah ini. Dengan
kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan aktifitas
ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan
seperti di definisikan syari’ah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh
kebaikan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi
yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan atau
(needs).[16]
Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian
tersebut adalah tujuan aktifitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini
adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan
berbagai permasalahan ekonominya. Oleh karen itu, problemmatika ekonomi manusia
dan perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfillment needs)
dengan sumber daya yang tersedia.
Bila ditelaah dari sudut pandang
ilmu menejmen kontemporer, konsep maqhasid Al-Syari’ah mempunyai relevansi yang
begitu erat dengan konsep motifasi. Seperti yang telah kita kenal, konsep
motivasi lahir seiring dengan munculnya persoalan “mengapa” seseorang
berprilaku. Motovasi itu sendiri didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha
keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan,
hasrat, dorongan, dan senbagainya.[17]
Bila dikaitkan dengan konsep maqhasid
Al-Syari’ah, jelas bahwa, dalam pandangan Islam, motovasi manusia dalam
melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti
memperoleh kemaslahatan hidup di dunia
dan di akhirat.
Kebutuhan
yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang
individu akan terdorong untuk berprilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam
dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Mativasi itu sendiri meliputi
usaha ketekunan dan tujuan.[18]
Menuru Maslow, apabila seluruh
kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan
kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal menjadi prioritas. Dengan kata
lain, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan
konsep hierarchy of needs, ia berpendapat bahwa garis hierarkis kebutuhan
manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari:[19]
Kebutuhan
fisiolagi (fisiological needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan
dan minum. Jika belum terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas
manusia dan menyamp ingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.
Kebutuhan
keamanan (safety needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan
fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
Kebutuhan
sosial (social needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan
persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi kesehatan jiwa
seseorang.
Kebutuhan
akan penghargaan (esteem needs), mencakup kebutuhan terhadap penghornatan dan
pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini
akan mempengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang.
Kebutuhan
aktualisasi diri (self-actualization needs), mencakup kebutuhan memberdayakan
seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan inimerupakan tingkat kebutuhan
yang paling tinggi.
Dalam
dunia manajmen kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleq maslow tersebut dapat
diaplikasikan sebagai berikiut:[20]
Pemenuhan
kebutuhan pisiologi antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah
atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
Pemenuhan
kebutuhan keamanan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian
tunjangan, keamanan kerja dan lingkungan kerja yang aman.
Pemenuhan
kebutuhan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap
kerja sama, stabilitas kelompok dan kesempatan berinteraksi sosial.
Pemenuhan
kebutuhan akan penghargaan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal
penghormatan terhadap jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas dan pekerjaan dan
pengakuan publik terhadap performance yang baik.
Pemenuhan
kebutuhan aktualisasi diri antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan
dalam berkreatifitas dan pantangan pekerjaan.
Bila
ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh maslow
diatas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqhasid A-Syari’ah bahkan,
konsep yang telah dikemukakan oleq Al-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif yang
sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagi faktor utama dalam elemen
kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian maslow. Seperti
yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi factor
penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dalam
persfektif Islam, berpijak pada doktri keagamaan yang menyatakan bahwa
pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperolah kemaslahatan di dunia
dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotifasi
untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu akan
meningkatkan produktifitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
… PEMIKIRAN EKONOMI AL-MAQRIZI
…
Riwayat hidup A-Maqrizi
Nama
lengkap Al-Maqrizi adalah Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir
Al-Husaini. Ia lahir di desaa Barjuwan, Kairo, pada tahun 766 H (1364-1365M).
keluarganya berasal dari Maqarizah, sebuah desa yang terletak di kota Ba’labak.
Oleh karena itu, ia cenderung dikenal sebagai Al-Maqrizi.
Kondisi
ekonomi ayahnya yang lemah menyebabkan pendidikan masa kecil dan remaja
Al-Maqrizi berada di bawah tanggungan kakeknya dari pihak ibu, Hanafi ibn
Sa’igh, seorang penganut mazhab Hanafi. Al-Maqrizi muda pun tumbuh baedasarkan
pendidikan mazhab ini. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tahun 786 H (1384
M), Al-MAqrizi beralih kemazhab ke mazhab syafi’i. bahkan, dalam perkembangan,
pemikirannya, ia terlihat cenderung menganut mazhab Zhahiri.[21]
Ketika
berusia 22 tahun, Al-Maqrizi mulai terlibat dalam berbagi tugas pemerintahan
dinasti mamluk. Pada tahun 788 H (1386 M), Al-Maqrizi memulai kiprahnya sebagai
pegawai didiwan Al-Insya’, semacam sekretariat Negara. Kemudian, ia diangkat
menjadi wakil qhadi pada kantor hakim agung mazhab syafi’I, hatib di masjid
jami’ amr dan madrasah Al-sultan Hasan, imam masjid jami Al-Hakim, dan guru
hadis dimadrasah di Al-Muayyadah.[22]
Pada
tahun 791 H (1389 M), sultan Barkuq mengangkat Al-Maqrizi sebagai muhtasib
dikairo. Jabatan tersebut di embannya selama 2 tahun. Pada masa ini Al-Maqrizi
mulai banyak bersentuhan dengan berbagai permasalahan pasar, pedagangan, dan
mudharabah, sehingga perhatiaanya terpokus pada harga-harga yang berlaku, asal
usul uang, dan kaidah-kaidah timbangan.
Pada
tahun 811H (1408 M), Al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administrasi wakaf di
Qalanisiyah, sambil bekerja dirumah sakit Annuri, damaskus. Pada tahun yang
sama ia menjadi guru hadis dimadrasah kemudian, sultan Al-Malik Al-Mashir faraj
bin Barkuk (1399-1412 M) menawarinya jabatan wakil pemerintah dinasti mamluk
didamaskus. Namun, tawaran ini ditolak
Al-Maqrizi.[23]
Setelah
sekitar 10 tahun menetap didamaskus, Al-Maqrizi kembali ke Kairo. Sejak itu, ia
mengundurkan diri sebagai pegawai pemerintahdan menghabiskan waktunya untuk
ilmu. Pada tahun 834 H (1430 M), ia bersama keluarganya menunaikan ibadah haji
dan bermukim di makkah selama beberapa waktu untuk menuntut ilmu serta
mengajarkan hadis dan menulis sejarah.
Lima
tahun kemudian, Al-Maqrizi kembali ke kampung halamannya barjuwan, kairo.
Disini,ia juga aktif mengajar dan menulis, turutama sejarah Islam, hingga
terkenal sebagai seorang sejarawan besar pada abad ke-9 H. Al-Maqrizi meninggal
dunia pada tanggal 27 Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan 9 februari 1442 M.[24]
Pemikiran ekonomi Al-Maqrizi
Al-Maqrizi
berada pada fase kedua dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam, sebuah fase yang
memulai terlihat tanda-tanda melambatnya berbagai kegiatan intelektualn yang
inovatif dalam dunia Islam. Latar belakang kehidupan Al-Maqrizi yang bukan
orang sufi atau filosop dan relatiif didominasi oleh aktifitasnya sebagai
sejarawan muslim sangat mempengaruhi cara pemikirannya tentang ekonomi. Ia
senantiasa melihat setiap persoalan dengan flashback dan mencoba memotret apa
adanya mengenai fenomena ekonomi suatu Negara dan mempokuskan perhatiannya pada
beberapa hal yang mempengaruhinaik turunnya suatu pemerintahan. Hal ini berarti
bahwa pemikiran-pemikiran ekonomi Al-Maqrizi cendrung positif, satu hal yang
unik dan menarik pada fase kedua yang notabebe didominasi oleh pemikiran yang
normative.
Al-Maqrizi
merupakan pemikir ekonomi Islam yang melakukan studi khusus tentang “uang dan
inflasi”.[25] Focus perhatian Al-Maqrizi terhadap dua aspek yang
dimasa pemerintahan Rasulullah dan Ak-Khulafa Arrasyidun tidak menimbulkan
masalah ini, tampaknya, dilatarelakangi oleh semakin banyaknya penyimpangan
nilai-nilai Islam, terutama dalam kedua aspek tersebut, yang dilakukan oleh
kepala pemerintahan bani Umayyah dan selanjutnya.[26]
konsep uang
Sebagai seorang sejarawan,
Al-Maqrizi mengemukakan beberapa pemikiran tentang uang melalui penelaahan
sejarah mata uang yang digunakan oleah umat manusia. Pemikirannya ini meliputi
sejarah dan fungsi uang, inflikasi penciptaan mata uang buruk, dan daya bli
uang.
Sejarah
dan fungsi uang
Bagi
Al-Maqrizi, mata uang mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehiduupan
umat manusia karena, dengan menggunakan uang, manusia dapat memenuhi kebutuhan
hidup serta memperlancar aktivitas kehidupannya. Oleh karena itu, untuk
membuktikan validitas premisenya terhadap permasalahan ini, ia mengungkapkan
sejarah penggunaan mata uang oleh umat manusia, sejak masa lalu kala hingga
masa hidupnya yang berada di bawah pemerintahan dinasti mamluk.
Menurut Al-Maqrizi, baik pada masa
sebelum maupun setelah kedatangan Islam, mata uang digunakan oleh umat manusia
untuk menentukan berbagai harga barang dan biaya tenaga kerja. Untuk mencapai
tujuan ini, mata uang yang dipakai hanya terdiri dari emas dan perak.[27]
Dalam sejarah perkembangannya, Al-Maqrizi
menguraikan bahwa Bangsa Arab jahiliyah menggunakan dinar emas dan dirham perak
sebagai mata uang mereka yang masing-masing diadopsi dari Romawi dan Persia
serta mempunyai bobot dua kali lebih berat dimasa Islam.[28] Setelah Islam datang, Rasulullah saw menetapkan
berbagai praktik muamalah yang menggunakan kedua mata uang tersebut, bahkan
mengaitkannya dengan hokum zakat harta.[29] Penggunaan kedua mata uang ini terus berlanjut tanpa
perubahan sedikitpun hingga tahun 18 H ketika Khalifah Umar ibn Al-Khattab
menambahkan lafaz-lafaz Islam pada kedua mata uang tersebut.[30]
Perubahanyang
sangat signifikan terhadap mata uang ini terjadi pada tahun 76 H. setelah
berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanan, khalifah Abdul Malik ibn
Marwan melakukan reformasi moneter dengan mencetak dinar dan dirham Islam.[31] Penggunaan kedua mata uang ini terus berlanjut, tanpa
perubahan yang berarti, hingga pemerintah Al-Mu’thasim, khalifah terakhir
dinasti Abbasyiah.
Dalam
pandangan Al-Maqrizi,kekacauan mulai terlihat ketika pengaruh kaum
mamluksemakin kuat di kalangan istana,termasuk terhadap kebajikan pencetakan
mata uang dirham campuran.[32]pencetakan fulus,mata uang yang tercabut dari
tembaga,dimulai pada masa pemerintahaan dinasti ayyubiyah,sultan Muhammad
Al-kamil ibn Al-adil Al-ayyubi,yang dimaksudkan sebagai alat tukar terhadap
barang-barang yang tidak signifikan dengan rasio 48 fulus untuk setiap
dirham-nya.[33]
Pasca
pemerintahan sultan Al-kamil,pencetakan mata uang tersebut terus berlanjut
hingga pejabat di tingkat provinsi terpengaruh laba yang besar dari aktivitas
ini.kebijakan sepihak mulai di terapkan dengan meningkatkan volume pencetakan
fulus dan menetapkan rasio 24 fulus per dirham.akibatnya,rakyat menderita
kerugian besar karena barang-barang yang dahulu berharga ½ dirham sekarang
menjadi 1 dirham.[34]keadaan ini semakin memburuk ketika aktivitas
pencetakan fulus meluas pada masa pemerintahan sultan Al-adil kitbugha dan
sultan Al-zahir barquq yang mengakibatkan penurunan nilai mata uang dan
kelangkaan barang-barang.[35]
Berbagai
fakta sejarah tersebut,menurut Al-maqrizi,mengindikasikan bahwa mata uang yang
dapat diterima sebagai standar
nilai,baik menurut hokum,logika,maupun tradisi,hanya yang terdiri dari emas dan
perak.oleh karena itu,mata uang yang menggunakan bahan selain kedua logam ini
tidak layak disebut sebagai mata uang.[36]
Lebih
lanjut,ia menyatakan bahwa keberadaan fulus tetap diperlukan sebagai alat tukar
terhadap barang-barang yang tidak signifikan dan untuk berbagai biaya kebutuhan
rumah tangga sehari-hari.[37]dengan kata lain,penggunaan fulus hanya diizinkan
dalam bebagai trnsaksi yang berskla kecil.
Sementara
itu,menekankan urgensi penggunaan kembali mata uang yang terdiri emas dan
perak,Al-Maqrizi menyadari bahwa uang merupakan satu-satunya faktor yang
memengaruhi kenaikan harga-harga.Menurytnya,penggunaan mata uang emas dan perak
tidak serta merata menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi juga
dapat terjadi akibat faktor alam dan tindakan sewenang-wenang dari penguasa.[38]
Implikasi
Penciptaan Mata Uang Buruk
Al-Maqrizi menyatakan bahwa
penciptaan mata uang dengan kualitas yang buruk akan melenyapkan mata uang yang
berkualitas baik.[39]hal ini terlihat jelas ketika ia menguraikan situasi
moneter pada tahun 569 H. Pada masa pemerintahan sultan salahuddin Al-ayyubi
ini,mata uang yang dicetak mempunyai kualitas yang sangat rendah di bandingkan
dengan mata uang yang telah ada diperedaran.Dalam menghadapi kenyataan
tersebut,masyarakat akan lebih memilih untuk menyimpan mata uang yang
berkualitas baik dan meleburnya menjadi perhiasan serta melepaskan mata uang yang
berkualitas buruk kedalam peredaran.akibatnya, mata uang lama keluar dari
peredaran.
Menurut Al-maqrizi, hal trsebut juga
tidak terlepas dari pengaruh pergantiaan penguas dan dinasti yang masing-masing
menerapkan kebijakan yang berbeda dalam pencetakan bentuk serta nilai diham dan
dinar. Sebagai contoh,jenis dirham yang telah ada dirubah hanya untuk
merefleksikan penguasa pada saat itu. Dalam kasus yang lain,terdapat beberapa
perubahan tambahan pada komposisi logam yang membentuk dinar dan dirham.[40] Konsekwensinya,terjadi ketidak seimbangan dalam
kehidupan ekonomi ketika persediaan logam bahan mata uang tidak mencukupi untuk
memproduksi sejumlah unit mata uang. begitu pula halnya ketika harga emas atau
perak mengalami penurunan.[41]
Konsep
Daya Beli Uang
Menurut Al-maqrizi, pencetakan mata
uang harus disertai dengan perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk
menggunakan mata uang tersebut dalam bisnis selanjutnya. Pengabaiain terhadap
hal ini, sehingga terjadi peningkatan yang tidak seimbang dalam pencetakan uang
dengan aktifitas produksi dapat menyebabkn daya beli riil uang mengalami
penurunan.[42]
Dalam hal yang demikian,Al-Maqrizi
memperingatkan para pedagang agar tidak terpukau dengan peningkatan laba
nominal mereka. Menurutnya, mereka akan menyadari hal tersebut ketika
membelanjakan sejumlah uang yang lebih besar untuk berbagai macam pengeluaranya.
Dengan kata lain, seorang pedagang dapat terlihat memperoleh keuntugan yang
lebih besar sebagai seorang produsen. Namun, sebagai seorang konsumen, ia akan
menyadari bahwa dirinya tidak memperoleh keuntugan sama sekali.[43]
2. Teori Inflasi
a.
Inflasi alamiah
Inflasi jenis ini disebabkan oleh
bebagai faktor alamiah yang tidak bisa dihindari umat mausia. Menurut
Al-Maqrizi, ketika suatu bencana alam tejadi, bebagai bahan makanan dan hsil
bumi lainnya mengalami gagal panen, sehingga persedian barang-barang tersebut
mengalami penurunan yang sangat drastis dan terjadi kelangkaan. Karena sifatnya
yang sangat signifikan dalam kehidupan, permintaan terhadap berbagai barang itu
mengalami peningkatan. Harga-harga membumbung tinggi jauh melebihi daya beli
masyarakat. Hal ini sangat berinflikasi terhadap kenaikan harga berbagai barang
dan jasa lainnya. Akibatnya, trnsaksi ekonomi mengalami kemacetan, bahkan
berhenti sama sekali, yang pada akhirnya menimbulkan bencana kelaparan, wabah
penyakit, dan kematian di kalangan masyarakat. Keadaan yang semakin memburuk
tersebut memaksa rakyat untuk menekan pemerintah agar segera memperhatikan
keadaan mereka. Untuk menanggulangi bencana itu, pemerintah mengeluarkan
sejumlah besar dana yang mengakibtkan perbendaharaan Negara mengalami penurunan
drastis karena, disisi lain, pemerintah tidak memperoleh pemasukan yang
berarti. Dengan kata lain, pemerintah mengalami defisit angaran dan Negara,
baik secara politik, ekonomi, maupun sosial, menjadi tidak stabil yang kemudian
menyebabkan keruntuhan sebuah pemerintahan.[44] Sekalipun suatu bencana telah berlalu, kenaikan
harga-harga tetap berlangsung. Hal ini merupakan inflikasi dari bencana alam
sebelumnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi, terutama disektor produksi
mengalami kemacetan. Ketika situasi telah normal, persedian barang-barang yang
signifikan, seperti benih padi,tetap tidak beranjak naik, bahkan tetap langka,
sedangkan permintaan terhadapnya meningkat tajam. Akibatnya, harga
barang-barang ini mengalami kenaikan yang kemudian di ikuti oleh kenaikan harga
berbagai jenis barang dan jasa lainnya, termasuk upah dan gaji para pekerja.[45]
b.
Imflasi Karena Kesalahan Manusia
1.
Korupsi dan Administrasi yang buruk
Al-Maqrizi menyatakan bahwa
pengangkatan para pejabat pemerintah yang berdasarkan pemberian suap, dan bukan
kabilitas, akan menempatkan orang-orang yang tidak mempunyai kredibilitas pada
berbagai jabatan penting dan terhomat, baik dikalangan legislatife, yudikatif,
maupun eksekutif. Mereka rela menggadaikan seluruh harta miliknya sebagai
konpensasi untuk meraih jabatan yang diinginkan serta kebutuhan sehari-hari
sebagai pejabat. Akibatnya para pejabat pemerintahan tidak lagi bebas dari
intervensi dan intik para kroni istana. Mereka tidak hanya mungkin disingkirkan
setiap saat tetapi disita kekayaanya,bahkan dieksekusi. Kondisi ini selanjutnya
sangat mempengaruhi moral dan efisiensi administrasi sipil dan militer. Ketika
berkuas, para pejabat tersebut mulai menyalahgunakan kekuasaan untuk meraih
kepentingan pribadi, baik untuk memenuhi kewajiban finansialnya maupun
kemewahan hidup. Merka berusaha mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan
menghalalkan segala cara. Merajalelanya ketidakadilan para pejabat tersebut
telah membuat kondisi rakyat semakin memprihatinkan, sehingga mereka terpaksa
meningggalkan kampung halaman dan pekerjaanya. Akibatnya, terjdi penurunan drastis
jumlah penduduk dan tenaga kerja serta hasil-hasil produksi yang sangat
berimplikasi terhadap penurunan penerimaan pajak dan pendapatan Negara.[46]
Pajak
Yang Berlebihan
Menurut
Al-maqrizi, akibat dominasi para pejabat bemental korup dalam suatu pemerintahan,
pengeluaran Negara mengalami peningkatan yang sangat drastis. Sebagai
konpensasinya, mereka menerapkan sistem perpajekan yang menindas rakyat dengan
memberlakukan bebagai pajak baruserta menaikan tingkat pajak yang telah ada.
Hal ini sanagat mempengaruhi kondisi para petani yang merupakan kelompok mayoritas dalam masyarakat. Para pemilik tanah
yang ingin selalu berada dalam kesenangan akan melimpahkan beban pajak kepada
para petani melalui peningkatan biaya sewa tanah. Karena tertarik dengan hasil
pajak yang sanagat menjanjikan, tekanan para pejabat dan pemilik tanah terhadap
para petani menjdi lebih besar dan intensif. Frekwensi berbagai pajak untuk
pemeliharaan bendungan dan pekerjaan-pekerjaan yang serupa semakin meningkat.
Konsekwensinya, biaya-biaya untuk penggarapan tanah, penaburan benih, pemungutan
hasil panen, dan sebagainya meningkat. Dengan kata lain, panen padi yang di
hasilkan pada kondisi ini membutuhkan biaya yang lebih besar hingga melebihi
jangkauan para petani. Kenaikan harga-harga tersebut, terutama benih padi,
hamper mustahil mengalami penurunan karena sabagian besar benih padi dimiliki
oleh para pejabat yang sangat haus kekayaan akibatnya, para petani kehilangan
motivasi untuk bekerja dan memproduksi. Mereka lebih memilih meninggalkan
tempat tinggal dan pekerjaanya dari pada selalu hidup dalam penderitaan untuk
kemudian menjadi pengembara didaerah-daerah pedalaman. Dengan demikian, terjadi
penurunan jumlah tenaga kerja dan peningkatan lahan tidur yang akan sanagat
mempengaruhi tingkat hasil produksi padi serta hasil bumi lainya dan pada
akhirnya, menimbulkan kelangkaan bahan makanan serta meningkatnya harga-harga.[47]
Peningkatan
Sirkulasi Mata Uang Fulus
Keadaan
ini, menempatkan fulus sebagai standar nilai bagi sebagian besar barang dan
jasa. Kebijakan pencetakan fulus secara besar-besaran, menurut Al-Maqrizi,
sangat mempengaruhi penurunan nilai mata uang secara drastic. Akibatnya, uang
tidak lagi bernilai dan harga membumbung tinggi. Yang pada gilirannya
menimbulkan kelangkaan bahan makanan.[48]
Wawasan Modern Teori Al-Maqrizi
Ekonomi modern di barat
pada umumnya membagi penyebab inflasi menjadi dua yaitu cos-push inflation dan
demand-pull inflation tanpak bahwa Al-Maqrizi lebih memahami apa yang
sebenarnya mengakibatkan inflasi karena baik inflasi yang disebabkan oleh
sebab-sebab alamiah maupun inflasi karena ulah kesalahan manusia keduanya dapat
berbentuk cos-push maupun demand-pull.
Abdul
Aziz Dahlah. Suplemen Ensiklopedi Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996). jilid 2.
Muhammad
Khalid Mas’ud. Filsafat Hukum Islam: studiFilsafat Hukum Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran al-Syatibi. (Bandung:
penerbit pustaka,1996), Cet. Ke-1.
Al-Syatibi.
al-Muafaqat fi Ushulal-Syari’ah. (Kairo: Musthafa Muhammad), jilid 2.
Asafri
Jaya Bakri. Konsep Maqhasid Syari’ah Menurut al-Syatibi. (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-1
Adiwarman
Azar Karim. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer. (Jakarta: Gema
Insani Press,2001), Cet.ke-1.
Adiwarman
Azwar Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004)
[1]
Sekalipun namanya dinisbatkan ke daerah ini, Imam Al-Syatibi tidak dilahirkan
di sana. Menurut catatan sejarah, kota Syatibah telah jatuh ketangan Kristen
yang mengakibatkan terusirnya seluruh penduduk Muslim dari kota itu sejak tahun
645 H (1247), sekitar satu abad sebelum kelahiran Imam Al-Syatibi, dan sebagian
besar diantaranya berhijrah ke Granada. Abdul Aziz Dahlah, et.al.,Suplemen
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve1996), jilid 2,
hlm.187.
[2]
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam: studiFilsafat Hukum Islam:
Studi tentang Hidup dan Pemikiran
al-Syatibi, (Bandung: penerbit pustaka,1996), Cet. Ke-1, hlm.111.
[3]
Abdul Wahab Khalla, ‘Ilm Usul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah,1968),
hlm.32.
[4]
Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka,1984), hlm.140.
[5]
Al-Syatibi, al-Muafaqat fi Ushulal-Syari’ah, (Kairo: Musthafa Muhammad),
jilid 2, hlm.3Muhammad), jilid 2, hlm.374
[6] Ibid.,
Jilid 1, hlm. 150
[7] Ibid.,
Jilid 2, hlm. 25.
[8] Ibid.,
hlm. 8.
[9] Ibid.
[10] Ibid.,
hlm16-17
[11] Asafri
Jaya Bakri , Konsep Maqhasid Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-1 hlm.73
[12] Mustafa
Anas Zarqa, Islamic Economics: an Approach to Human Welfare, dalam aidit
Ghazali dan syed Omar (ed), Reading in the Concept and Methodology of
Islamic Economics, (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publication, 1989), hlm.
35-36.
[13] Ibid.,
hlm.38.
[15] Ibid.,
138-139.
[16]
M. Fahim Khan, Shantibi’s Objektives of shari’ah and Some Implication for
Consumer Theory, dalam Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (ed), Reading
in Islamic Thought, hlm. 193.
[17]
James H.Donelly, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, Fundamentals of
Management, (New York: Irwin McGraw-Hill, 1998), hlm.267.
[18] Ibid.,
hlm. 268.
[19] Ibid.,
hlm. 270-271.
[20] Ibid.,
hlm.274.
[21]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Suplemen Ensiklopedi Islam, (akarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve,1999), jilid 2, hlm.42.
[22] Jamaliddin
Al-Syayyal, Pengantar Al-Muhaqqiq, dalam Taqiyuddin Ahmad bin Ali Al-Maqrizi, Itti’azh
Al-Hunafa bi Akhbar Al-Aimmah Al-Fathimiyyin Al-Khulafa, (Kairo: Lajnah
Ihya Al-Turats Al-Islamy,1967), hlm.11-12.
[23] Hammdbin
Abdurrahman Al-Janidal, loc.cit.
[24]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. Cit.
[25]
M.Nejatullah Siddiqi, Recent Workss on History of Economic Thought in Islam:
A Survey, op.cit., hlm. 50.
[26]
Adiwarman Azar Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta:
Gema Insani Press,2001), Cet.ke-1, hlm. 67.
[27] Al-Maqrizi,
Al-Nuqud Al-Qadimah Al-Islamiyah, dalam Al-Abb Al-Insitas Al-Karmali
(ed.), Kitab al-Nuqud al-‘Arabiyahwa al-Islamiyah wa ‘Ilm al-Namyat, (Kairo:
Maktabah Al-Tsaqafah Al-Diniyah,1986), Cet. Ke-2, hlm. 73.
[28] Ibid.,
hhlm. 28-30.
[29] Ibid.,
hlm. 35.
[30] Ibid.,
hlm. 37-38.
[31] Ibid.,
hlm. 40.
[32] Ibid.,
hlm. 57.
[33] Al-Maqrizi,
Ighatsah Al-Ummah bi Kasyf Al-Ghummah, op.cit., hlm. 68-70.
[34] Ibid.,
hlm. 70.
[35] Ibid.,
hlm. 71-72
[36] Ibid.,
hlm.80.
[37] Al-Maqrizi,
al-Nuqud al-Qadimah al-Islamiyah, op.cit., hlm., 76.
[38] Al-Maqrizi,
Ighatsah al-Ummah bi Kasyf al-Ghummah, op.cit. hlm.83.
[39] Al-Maqrizi,
al-Nuqud al-Qadimah al-Islamiyah, op.cit. hlm.66.
[40] Ibid.,
hlm. 66-67
[41] Ibid.,
hlm.67-68.
[42] Aidit
Ghazali, Islamic Thinkers on Economic, Administration, dan Transaction, (Kuala
Lumpur: Quill Publisher, 1991), Vol. 1, hlm. 159.
[43] Ibid.
[45] Ibid.,
hlm. 50-51.
[46]
Ibid., hlm. 52-53.
[47] Ibid.,
hlm. 53-54
[48] Ibid.,
hlm.72