Archive for 2016
Siang
sabtu selepas kuliah saya langsung pulang menuju kos di dasan agung, hari itu
menjadi hari yang tidak biasa karena biasanya selepas kuliah saya menyempatkan
diri untuk mengobrol dan bercanda dengan teman teman kampus barang lima sampai
sepuluh menit sebelum akhirnya kami pulang bersama-sama. Sampai di kos saya
langsung rebahkan badan diatas kasur kusut dibalut kain warna putih bercorak
bunga mawar.
Siang
itu kakak misan saya yang menjadi teman kos tidak ada disana karena mungkin
sedang berada dikos temannya, maklum saja dia sudah semester akhir dan sedang
menyusun skripsi sehingga minggu-minggu ini dia jarang kelihatan di kos
sehingga saya sering tidur sendirian di kamar kos yang berukuran 4X5 itu.
Belum
lama badan saya berbaring melepas lelah, tiba tiba handphone saya berdering tanda panggilan
masuk, segera saya raih tas yang dari awal masuk kos saya taruh diatas lemari
mebel berwarna cokelat karena hape saya taruh di tas dan belum sempat
mengeluarkannya. Saya perhatikan layar hape dengan cermat ternyata yang
menghubungi nomor baru, dalam benak saya bergumam “ siapa gerangan orang yang
memanggil ini” tanpa berpikir panjang saya tekan tombol warna hijau tanda
menerima obrolan siang itu.
“Assalamualakum
warahmatullahiwabarkatuh” dia mengucap salam dengan nada khasnya, tanpa
bertanya saya sudah bisa menebak siapa gerangan orang ini, ya dia adalah salah
satu guru inspirator dan mentor yang semenjak duduk dibangku Aliyah, saya
banyak belajar darinya, belum sempat saya balas salamnya dia sudah kembali
menyapa “ Hai Boy..! Apa Kabar” saya semakin yakin dengan tebakan saya,
karena hanya beliau yang selama ini memanggil saya Boy.
Ya dia
adalah Mr. Samsul Hakim, guru qur’an hadist yang kesehariannya hobi berkebun,
menembak dan mancing tanpa umpan, jika beliau tidak ada jam mengajar
dipesantren, beliau akan lebih memilih menghabiskan waktunya dikebun bercocok
tanam lalu malamnya menyusuri sungai dan perkebunan masyarakat dengan senapan
angin dipundaknya guna berburu.
“Waalaikumsalam
Wr. Wb, Alhamdulillah baik ust” jawab saya singkat, lalu beliau melanjutkan
maksud dan tujuannya menelpon saya, “ Begini Boy, di Darul Hikmah kita
sedang ada program English camp yang diikuti oleh anak kelas Lima, mereka ini
santri kelas lima yang tidak bisa ikut pergi ke pare bersama teman temanya
untuk kursus bahasa inggris karena beberapa alasan, nah agar mereka memiliki
kesetaraan skill dalam bahasa inggris dengan teman temannya yang pergi kepare,
saya mengusulkan agar mereka difokuskan belajar bahasa inggrisnya di darul
hikmah.” Siang menjelang sore itu tiba tiba beliau menjadi sangat vokal
persis seperti dosen yang sedang menjelaskan materi kuliah marketing, karena
setahu saya beliau adalah guru yang jarang sekali ngomong apabila itu tidak
penting, lebih lebih melalui handphone. Saya terus tetap menyimak penjelasannya
hingga ia benar benar selesai bahkan saya tidak diberikan kesempatan untuk
berkomentar.
Karena
mungkin beliau merasa penjelasannya cukup, lalu beliau menyuruh saya agar
sesekali main main ketempat kursus dan jika dirasa nyaman bisa langsung ikut
nimbrung di sana biar kuliah lewat sini saja. Waktu itu saya tidak langsung
mengiyakan karena harus memintak izin terlebih dahulu ke kakak misan teman kos
saya, karena bagaimanapun juga dia adalah orang tua saya di kos itu. Suara speaker
masjid perlahan mulai terdengar pertanda waktu ashar segera tiba, kamipun
menyelesaikan obrolan itu sambil mengucap “insyallah kapan kapan saya main
ke sana tad,” lalu mengucap salam untuknya.
sehari
setelah percakapan saya dengan Mr. Samuel (panggilan Populernya di pesantren
Nurul Haramain) saya cerita sekaligus mintak pendapat sama kakak saya tentang
obrolan tempo hari perihal kursus dan bila merasa nyaman saya akan menetap tinggal
disana sampai programnya selesai. Tanpa terlihat ragu di wajahnya dia sangat
mendukung dan mengapresiasi apapun rencana saya.
***
Hari senin
minggu itu, kuliah saya kosong, bukan karena senin tidak ada jadwal, hanya saja
dosen yang mengajar hari senin minggu itu sedang keluar kota untuk kepentingan
kampus. Memanfaatkan hari libur itu, sayapun siap-siap menuju tempat
kursusannya Mr. Samuel.
Pagi
senin itu menjadi langkah pertama saya menginjakkan kaki ditempat yang nanti
orang orang menyebutnya kampung naga. Sepanjang perjalanan, dalam bayangan saya
tempat itu mewah dengan fasilitas lengkap, memiliki gerbang dengan tembok
penyekat yang kokoh. Ternyata pada kenyataannya tempat itu sederhana bahkan
sangat sederhana, tidak ada tembok tidak ada gerbang tidak ada pula bangunan
permanen yang bisa tempati hanya ada barisan tiang tiang beton besar nan kokoh
menjulang tinggi menandakan suatu saat nanti tempat ini akan memiliki bangunan
berlantai.
Setelah
menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit dari mataram akhirnya tiba juga di
didesa tanak beak. Motor yang dari tadi saya kendarai dengan kecepatan tinggi
kini ampernya perlahan mulai turun dengan kecepatan rendah, sambil meraba
setiap sudut berharap tempat itu segera saya temukan, karena sebelumnya saya
tidak tahu persis lokasi yang dimaksud Mr Samuel dan hanya memberikan informasi
bahwa tempat itu berada persis di pinggir utara jalan, tengah sawah dan hanya
satu-satunya bangunan yang ada disekitaran itu.
Dari
plang yang bertuliskan selamat datang didesa tanak beak, mata mulai melirik
arah kiri kanan takut tempat itu terlewatkan, tak mempedulikan setiap
pengendara motor yang berlalu lalang menyalip dari tadi, bahkan beberapa pengendara sepeda motor membunyikan klakson
cukup keras memintak izin untuk menyalip, namun tak saya hiraukan, dan masih
tetap mengarahkan mata kearah utara jalan seperti yang diinformasikan.
Tak lama
kemudian terlihat dari kejauhan sebuah bangunan tanpa atap, hanya ada deretan
tiang tiang beton yang cukup besar dengan ruangan Bdek sederhana disampingnya.
Dalam hati saya cukup yakin bahwa tempat itulah yang saya cari.
Sesampai
disana saya menjadi tak begitu yakin
bahwa tempat itu yang dimaksud Mr. Samuel, sayapun memberhentikan motor
yang saya kendarai lalu mengambil ponsel di kantong celana sebelah kiri dan
mencari kontak Mr. Samuel lalu memanggilnya. “Assalmualkum sir saya sudah
ditanak beak pinggir jalan tengah sawah, apa benar ini lokasi yang antum
maksud” pertanyaan saya yang panjang dan kurang yakin sudah sampai dilokasi
membuat dia ketawa seolah berkata, kenapa,? Lokasinya tidak sesuai dengan
bayanganmu? Ya inilah lokasinya, beginilah suasananya..!
Belum
lama kami bercakap-cakap beliau tiba-tiba muncul dari gerbang melambaikan
tangan mengisyaratkan agar saya segera masuk. Saya kini menjadi yakin,
tempatnya tidak salah, yang salah bayangan saya yang mendiskripsikan tempat itu
seperti tempat kursus di kota kota pada umumnya.
Ditempat
itu dan pada pertemuan itu, menjadi pertemuan pertama kali saya dengan beliau
setelah hampir satu tahun tidak bertemu kembali semenjak keluar dari pondok.
Saya rasanya tidak sabar ingin menjambat tangat kasarnya, sehingga motor belum
terparkir dengan rapi saya sudah menjulurkan tangan dan mencium rindu telapak
tangan mengharap barokah darinya.
Hari itu
begitu cepat berlalu, Jam menunjukan pukul lima sore, tidak terasa sudah
seharian ngobrol dengan beliau, saat itu saya putuskan untuk tidak menginap disana
karena besok ada jam kuliah pagi, ditambah lagi tidak adanya pakian yang saya
bawa. Saya pamit dan menjabat tangannya erat sekali seolah esok tak akan
berjumpa kembali. Sebelum menghidupkan motor, beliau setengah berbisik agar
besok-besok saya bisa datang kembali dan berharap ikut nimbrung di sana. “nggeh
tad insyallah” kataku sambil berlalu meninggalkan tempat itu.
***
Keputusan
akan meningglkan kakak misan sendirian dan kontrakan kos yang masih tersisa
enam bulan lagi menjadi dilema tersendiri, bingung mau pilih yang mana, di satu
sisi makan saya mungkin akan terjamin kalau tinggal di tempat kursus yang
dimaksud Mr. Samuel, tapi jarak tempuh kuliah dengan tempat kursus menjadi
pertimbangan, apakah saya akan benar benar bisa melewati semuanya setelah nanti
berada di tempat kursus.
Seperti
biasa ibu kos akan membersihkan halaman kos setiap pagi seusai shalat subuh,
dan menyapa setiap anak kos yang bangun pagi untuk melaksanakan shalat subuh,
minimal bertanya gimana tidurnya?, semalam banyak nyamuk tidak?. Pertanyaan
seperti itu yang membuat saya merasa bahwa beliau adalah ibu saya, dan memang
pada kenyataannya beliaulah ibu setiap anak kos yang ada disana. Tapi kadang
kebanyakan merasa bahwa ibu kos adalah Pol. PP, karena setiap pulang telat dari
biasanya, mereka akan ditanya, udah kemana, kok pulangnya jam seginian? Atau
ketika bangun pagi, sedang matahari sudah cukup tinggi, sudah shalat subuh
belum?. Pertanyaan seperti itu bagi mereka sangat menjengkelkan, mereka seolah
mengatakan, jangan pedulikan apapun yang kami kerjakan, biarkan kami bebas
karena kami sudah dewasa, kami tahu mana yang harus kami lakukan.
Kesadaran
mereka akan esensi ibu kos itulah yang membuat sebagian merasa bahwa bertemu
ibu kos itu tidak mengasyikan tak seperti bertemu teman teman waktu dikampus.
Bagi saya ibu kos dan teman teman kampus sama saja, sama sama asyik,
permasalahannya adalah kita tidak menikmati saja.
Selesai shalat
subuh saya membersihkan ruangan luar tempat sepeda motor dan masak, karena kos
itu memilki dua ruangan. Ruang dalam untuk tidur dan belajar, sedang ruang luar
untuk parkir motor waktu malam dan masak. Setelah semua terlihat bersih saya
keluar dan menemukan ibu kos masih sibuk dengan daun daun mangga yang rimbun
didepan kontrakan kos. Dengan nada bercanda saya sapa ibu kos dengan menyuruh
agar pohon mangga ditebang saja supaya tidak terlalu capek setiap pagi
membersihkan halaman yang sampahnya didominasi oleh daun pohon mangga yang
berserakan.
Beliau
hanya membalas dengan senyum lalu melanjutkan kembali mengumpulkan setiap daun
yang berserakan tanpa menghiraukan candaan saya, dalam hati saya bergumam, loh
kenapa dengan ibu kos tidak biasanya judes seperti pagi ini, biasanya cukup
dengan sapaan singkat maka beliau yang akan banyak mengeluarkan kata-kata
dengan nada sejenis.
Saya
menjadi negatif thinking, dan membuat saya bertanya kepada diri sendiri, apa
saya pernah melakukan kesalahan beberapa hari belakangan ini sehingga membuat
beliau kecewa, lama setelah duduk didepan pintu kamar kos sambil menerawang
kesalahan apa yang membuat beliau begitu tak acuh.
Daun
daun mangga itu sudah terkumpul dan sudah dimasukan kedalam plastik hitam lalu
ditaruh dipinggir jalan depang gerbang halaman kos, beberapa menit kemudian
akan datang mobil warna kuning dari petugas kebersihan kota yang mengambil
setiap plastik dipinggir jalan sepanjang gank wilayah itu.
Saya
masih duduk termenung disana, sejurus kemudian beliau tiba tiba hadir dengan
secangkir kopi di tangan kanan dengan gelas agak besar, lalu menyapa saya, “eh
kenapa, muka kusut begitu kok disimpan” katanya sambil menyeruput kopi panas
yang masih terlihat mengeluarkan kukusnya, “ada masalah apa”? lanjutnya, dia
mulai terlihat bersahabat keibuannya sudah kembali pagi itu, “ahh, gak ada bu”
kataku singkat, “gak mungkin, saya sudah duluan lahir, wajah seperti itu sudah
sering saya temukan bahkan saya sendiri tak jarang memakainya” sambil tersenyum
beliau memulai candaan pagi itu.
Suasana
sudah mulai cair, disana saya curhat atas kegalauan dan mintak pendapat tentang
meninggalkan kos yang masih tersisa tinggal enam bulan lagi. Kata-katanya cukup
menyentuh, dan menjadi salah satu alasan penguat untuk meninggalkan kos itu. “kamu
masih muda, jarang anak muda mau menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang
bermanfaat, justru kebanyakan berpoya poya” begitulah kata-kata yang masih
terngiang ditelinga saya sampai hari ini.
***
ketika pertama
kali menginjakkan kaki ditempat itu, Masih teringat jelas bagaimana keringnya
jalan utama masuk ke tempat yang kini menjadi persinggahanku. pohon-pohon masih
sangat terlalu kecil untuk meneduhkan panasnya matahari di musim kemarau tiba.
rerumputanpun ikut tak menunjukan partisipasinya meramaikan tanah yang kini
kami sebut sebagai tanah kampung naga. karena hanya ada naga yang berdiri
melilit tiang-tiang beton sepanjang satu setengah meter di halamana depan
tempat itu.
di kala malam
tiba, suasana seperti tak ada kehidupan yang sesungguhnya. hanya ada bantuan
secercah cahaya lilin yang tak pernah saya tak syukuri. Desel yang kami punya
hanya di nyalakan saat ada siaran tv yang sangat menarik. Liga championpun tak
setiap malam dapat kami tonton, hanya pada pertandingan yang kami anggap
memanas baru kemudian kami tergesa-gesa mencari bensin untuk menghidupkan desel.
Saat itu, saya
baru duduk di semester III di salah satu kampus negeri di mataram, (IAIN
Mataram) setiap ingin berangkat kuliah harus mandi dengan bekas ikan, karena
memang air kamar mandi di alirkan dari sana, syukurnya adalah saya tak pernah
merasakan sakit kulit seperti perkiraan para dokter yang ketika kita
menggunakan air yang kurang bersih untuk mandi dan lain sebagainya maka kita
akan sering terkena penyakit, dalam hati saya membantin dan bersyukur inilah
berkah tuhan atas niat ikhlas melakukan perbuatan baik.
Waktu terus
berjalan dengan segala cara dan atas tuntunan petua kami, akhirnya satu tahun
lebih sudah berlalu, kekeringan yang dulu kami rasakan kini berubah menjadi
kesejukan yang luar biasa, rerumputan yang dulu enggan untuk tumbuh, kini tak
sedikit para pengembala sapi datang ke tempat kami untuk menyabit, pohon yang
dulu hanya sebatas pinggang kini sudah tak mampu tuk saya jumpai daunnya, lampu
sudah tak menjadi permasalahan, di setiap sudut area sudah terpasang
dengan tiang sederhana menjulang tinggi.
Air yang dulu
dipakai mandi berasal dari kolam ikan, kini sumur bor siap membasahi setiap
badan yang berkeringat, bahkan beberapa waktu silam, seorang team survieyor
asal jawa mendatangi tempat kami dan
mengambil sampel untuk mengetahui kandungan air yang ada disini, hasilnya
sangat mengejutkan bahwa kandungan air yang ada ditempat ini jauh lebih bagus
dari produk air gelasan yang beredar di pulau Lombok.
Masih teringat jelas satu tahun silam,
bagaimana keringnya jalan utama, masuk ke tempat yang kini menjadi
persinggahanku. pohon-pohon masih sangat terlalu kecil untuk meneduhkan
panasnya matahari di musim kemarau tiba. rerumputanpun ikut tak menunjukan partisipasinya
meramaikan tanah yang kini kami sebut sebagai tanah kampung naga. karena hanya
ada naga yang berdiri melilit tiang beton sepanjang satu setengah meter.
di kala malam tiba, suasana seperti tak ada
kehidupan yang sesungguhnya. hanya ada bantuan secercah cahaya lilin yang tak
pernah saya tak syukuri. desel yang kami punya hanya di nyalakan saat ada
siaran tv yang sangat menarik. Liga championpun tak setiap malam dapat kami
tonton, hanya pada pertandingan yang kami anggap memanas baru kemudian kami
tergesa-gesa mencari bensin untuk menghidupkan desel.
Saat itu, saya baru duduk di semester III di
salah satu kampus negeri di mataram, (IAIN Mataram) setiap ingin berangkat
kuliah harus mandi dengan bekas ikan, karena memang air kamar mandi di alirkan
dari sana, syukurnya adalah saya tak pernah merasakan sakit kulit seperti
perkiraan para dokter yang ketika kita menggunakan air yang kurang bersih untuk
mandi dan lain sebagainya maka kita akan sering terkena penyakit, dalam hati saya
membantin dan bersyukur inilah berkah tuhan atas niat ikhlas melakukan
perbuatan baik.*
Awal dulu duduk di bangku aliyah, aku punya mimpi bisa pergi
ke luar daerah menggunakan kapal, bagi ku itu mimpi yang lumayan berat, melihat
ekonomi keluarga ku yang tak begitu meyakinkan dan kemampuan yang ku miliki tak
seberapa, bulan demi bulan hingga berlipat menjadi sebuah tahun, mimpi itu
semakin tak terbayang karena tidak ada tanda tanda aku bisa menggapainya,
setelah baca buku tentang kekuatan mimpi, aku akhirnya kembali merangkul
dan memegang erat mimpi itu, mencoba menelusuri bagaimana supaya bisa tercapai.
hingga di akhir bangku aliyah, aku dapat
tawaran beasiswa full S1 dari kepala sekolah utk melanjutkan pendidikan ke
salah satu perguruan tinggi terkenal di jogja "UGM", rasanya aku
sangat senang, akhirnya mimpi itu segera akan tercapai melebihi dari yang ku
impikan, tapi tuhan berkata lain, setelah berkas aku kumpulkan dan lengkapi, di
hari H aku dan bersama salah satu kawan cewek ku harus test ternyata guru yang
akan membawa kami test pergi ke acara pernikahan salah satu guru pondok ku,
sehingga kami tak bisa mengahadiri moment yang sangat berharga itu, dan di
nyatakan tidak masuk kategori.
Sekitar satul
kilo dari perumahan masyarakat Tanak Beak ke arah barat menuju Bengkel
dan sekitar 500 meter dari perumahan masyarakat Tanak Beak Dasan ke arah timur
menuju Kantor Desa Tanak Beak. di sinilah jalur yang semua masyarakat sekitar
memanggilnya jalur Rawan, bagaimana tidak, sekitar 5 tahun silam, jalur inilah
yang sering di gunakan oleh para pencuri maupun perampok untuk membawa hasil
curian dan rampokan yang mereka dapatkan. dan di jalur ini pula masyarakat
sering di cegat lalu barang-barangnya diambil.
Di jalur inilah bangunan Pesantren Darul
Hikmah Didirikan, awalnya banyak masyarakat yang meragukan kelanjutan dari
pembangunan pesantren ini, melihat kejadian-kejadian yang pernah di alami oleh
sebagian masyarakat sekitar. Tapi karena keyakinan pimpinan pesantren,
pembangunan terus dilanjutkan, dengan harapan, kedepannya justru jalur ini
menjadi jalur yang aman oleh semua orang karena keberadaan pesantren ini.
Tiga tahun sudah kini jalur itu mulai ramai
dan aman, banyak orang yang berlalu lalang hingga larut, sampai kadang jam tiga
malam masih ada suara motor yang terdengar melewati jalur tersebut, berbeda
dengan sebelum pesantren ini ada, jangankan jam tiga, jam delapan waktu isya’
pun sudah tidak ada satupun terdengar knalpot motor. Apalagi sampai harus jalan
kaki.
Dari hari ke hari sudah banyak masyarakat
yang datang langsung ke pesantren sekedar bercerita betapa senangnya pesantren
ini ada, karena mereka sudah tidak lagi takut dan was was melewati jalur ini
hingga jam berapapun.
Selain takut dengan itu, masyarakat yang
mem
Sekitar satul
kilo dari perumahan masyarakat Tanak Beak ke arah barat menuju Bengkel
dan sekitar 500 meter dari perumahan masyarakat Tanak Beak Dasan ke arah timur
menuju Kantor Desa Tanak Beak. di sinilah jalur yang semua masyarakat sekitar
memanggilnya jalur Rawan, bagaimana tidak, sekitar 5 tahun silam, jalur inilah
yang sering di gunakan oleh para pencuri maupun perampok untuk membawa hasil
curian dan rampokan yang mereka dapatkan. dan di jalur ini pula masyarakat
sering di cegat lalu barang-barangnya diambil.
Di jalur inilah bangunan Pesantren Darul
Hikmah Didirikan, awalnya banyak masyarakat yang meragukan kelanjutan dari
pembangunan pesantren ini, melihat kejadian-kejadian yang pernah di alami oleh
sebagian masyarakat sekitar. Tapi karena keyakinan pimpinan pesantren,
pembangunan terus dilanjutkan, dengan harapan, kedepannya justru jalur ini
menjadi jalur yang aman oleh semua orang karena keberadaan pesantren ini.
Tiga tahun sudah kini jalur itu mulai ramai
dan aman, banyak orang yang berlalu lalang hingga larut, sampai kadang jam tiga
malam masih ada suara motor yang terdengar melewati jalur tersebut, berbeda
dengan sebelum pesantren ini ada, jangankan jam tiga, jam delapan waktu isya’
pun sudah tidak ada satupun terdengar knalpot motor. Apalagi sampai harus jalan
kaki.
Dari hari ke hari sudah banyak masyarakat
yang datang langsung ke pesantren sekedar bercerita betapa senangnya pesantren
ini ada, karena mereka sudah tidak lagi takut dan was was melewati jalur ini
hingga jam berapapun.
Selain takut dengan itu, masyarakat yang
mem
Hari/tgl :
jumat 14-juni 2013
Hari jumat
saat setelah menyelesaikan kuliahku tepatnya jam 11 Saya langsung meluncur
kembali ke pondok tercinta, di pondok, Saya lihat kumpulan teman teman ku yang
di pimpin orang yang selama ini Saya banggakan, mamik Khalil, Saya menyebut
mamik karena sudah sepantasnya Beliau memamakai gelar itu, melihat apa yang beliau
miliki (ilmu) dan apa yang sudah beliau perbuat untuk pondok ini. Saya ucap
salam dan mencium tangannya berjabat, jejeran Koran di depannya menggerakan kan
ku untuk ikut membaca berita hari itu, dengan teliti Saya melihat beliau
membalikan setiap halaman sambil melingkari setiap nama yang beliau kenal di
halaman itu dengan polpen hitam di tangan kanannya, Koran hari jumat tanggal 14
juni di halam 10 dengan topic besar di atas halaman itu, NAMA
CALON SEMENTARA LEGISLATIF, setelah beberapa menit Saya baru sadar kenapa beliu
hanya membolak balikan halaman yang hanya memiliki judul yang sama itu.
Di temani
salah satu kawan ku, Mr Ma’un, beliau mencari nama-nama calon legislatif yang
menjadi sasaran undangan pada acara pergantian OSDH yang akan kami laksanankan
nanti pada tanggal 22 bulan itu, dari nama calon sebanyak itu, beliau hanya
melingkari nama nama yang menurutnya dekat dari lokasi untuk di undang. Mr Ma’un
yang saat itu di tugaskan untuk menulis ulang ke buku pribadinya dengan cekat
menuliskan nama nama yang akan di kirimi surat undangan, lalu pergi meninggalkan
kami setelah selesai menuliskan nama nama itu di bukunya untuk membuat surat
yang di maksud secepatnya.
Koran yang
berceceran kini perlahan bukan menjadi focus perkumpulan pagi menjelang siang
itu, galak tawa mulai keluar dari mulutnya seperti perkumpulan yang biasa kami
lakukan, selalu ada tawa di sela perkumpulan serius membahas tentang
perkembangan pondok. Mata ku menatap arah duduknya berharap ia menyinggung
tentang keberangkatanku ke bandung, beliau menatap Saya cemas seolah bisa
membaca hati ku, lalu beliau membukanya dengan bertanya,”sudah pernah di kontak
dari kantor” dengan halus ia mengutarakan pertanyaan itu, dan dengan hati hati
pula saya mencoba mengatur kata kata menjawab pertanyaannya, “ belum mik”
sedikit kecewa dan khawtir karena satu hari lagi dari keberangkatan, sedang
tiket belum saya lihat, beliau memang pintar membaca hati orang, seolah ia tahu
perasaan kawatirku, beliau mencoba
meyakinkan ku dan berkata “ di tunggu aja mungkin nanti jam 3 antum di panggil”.
sedikit lega karena ada kepastian walaupun saya tak tahu apakah kata kata itu
hanya bertujuan untuk menghibur ku.
Kami masih
duduk bersama di depan kantor sederhana bersekatkan bedek, di sela
keteganganku, Handphone yang tersimpan
di saku tiba tiba berbunyi, berharap itu dari salah satu staff kantor kemenag
yang mamik tadi maksud, satu massage di terima, tanpa saya pedulikan siapa yang
mengirimi pesan, saya langsung membaca isinya, dan Alhamdulillah harapan ku
benar, kecemasan ku hilang, ia menyuruhku datang mengambil tiket dan surat
tugas ke kantornya jam 3 sore nanti. Saya tak membalasnya panjang, sampai salam
pun lupa karena kebahagiaan ku membeludak sehingga hanya membalas bilang “Nggih
pak”.
Ingin rasanya
pergi dari tempat duduk itu, dan bersujud syukur karena ini adalah kepergian
pertamaku keluar kota di tambah dengan tidak ada biaya yang harus saya
keluarkan. tapi saya tak seceroboh itu, kesenangan itu saya simpan rapat-rapat
dalam hati dan tetep bertahan duduk bersamanya.
Jam menunjukan
pukul 12 siang itu, suara lantunan ngaji di setiap masjid terdengar dengan
indahnya, menyadarkan kami kalau hari itu adalah hari jumat, ia terlihat
bergegas dan menyuruh kami bersiap-siap untuk jum’atan. Setelah itu beliau
mengucapkan salam lalu pergi meninggalkan kami. Saya langsung masuk kamar dan
sujud sukur sambil beberapa kali mengucapkan Alhamdulillah di sana.
Tak terasa
azan shalat jumat sudah di komandangkan, saya bangkit dan segera
bersiap-siap untuk memenuhi panggilannya. Dengan pakian sederahana saya
siap berangkat jum’atan dan menghidupkan mesin si kuning yang sudah beberapa
tahun ini menemani perjalanan ku. Tiba di masjid, saya ambil air wudhu karena
tadi tidak sempat ambil air wudhu di pondok takut telat. Setelah urutan wudhu
selesai saya lakukan lalu menaiki masjid dan shalat dua rakaat di sana.
Beberapa menit
kemudian Khutbah telah selasai di bacakan, salah satu warga yang bertugas hari
itupun mengomandangkan iqomah pertanda shalat jumaat akan segera kita mulai.
Dengan pakian serba putih Kiyai yang selama ini di percayakan masyarakat untuk
memimpinya dengan mantap mengambil posisi di depan makmum sebagai imam. Seperti
biasa sebelum ia mulai shalatnya ia tak pernah lupa mengingatkan mamkmumnya
untuk merapikan dan merapatkan shafnya.
Jam dinding
masjid itu menunjukan jam 01.30 amalan shalat jumat telah selasai kami baca,
masjid yang terletak di Dasan, Desa Tanak Beak ini memang memiliki keunikan
dalam berjamaah shalat jumat, ia masjid yang paling cepat menyelasiakan jum’atannya
disbanding masjid lainnya di Desa. Sepertinya ia bisa membaca keadaan
masyarakatnya yang kian hari sudah tidak terlalu senang dengan jumatan yang prosesnya
lama seperti halnya masjid masjid besar di kota.
Siang itu
entah kenapa nafsu makan saya tidak ada, saya juga tidak tahu kenapa satu minggu
belakangan ini badan ku terasa tidak fit, sehingga tak jarang pak zul kepala
sekolah ku yang juga salah satu orang yang saya banggakan di pondok ini
mengeledek bilang “ tidak usah tegang naik pesawat tad, naik pesawa itu santai
ja tidak lebih seperti naik mobil” Saya hanya merespon dengan Senyuman manis padanya.
Saat itu memang wajah saya terlihat sedikit pucat tapi bukan karena saya takut
akan naik pesawat walaupun ini adalah pertama kalinya saya akan terbang
menyebrangi lautan menggunakant pesaawat.
Matahari perlahan
bergeser kearah barat, saya lihat jam di handphoneku sudah menunjukan pukul
02.30 teringat kalau hari ini, saya ada janji dengan salah satu staff yang
mengurus keberangkatan ku, dengan cepat saya memecet tombol Handphone dan
mencari kontak teman yang akan menjadi fatner saya berangkat ke bandung, Ustad
Yusron namanya, lalu mengirimnya pesan dan mengajak beliau ketemu nanti di
kantor kemenag NTB. karena saya tidak pernah bertemu beliau sebelumnya. Ia hanya memberitahu via
handphone kalau keberangkatan kebandung nanti bersama dengannya. Setelah pesan
pendek saya kirim, tak lama kemudian ia membalas dan menyetujui
perjanjian itu.
Kurang lebih
30 menit Saya habiskan perjalanan dari pondok ke mataram, di perjalanan Handphone
saya berdering satu panggilan masuk, karena saat itu saya berada di lampu merah
dan kebetulan sedang menyala merah, dengan segera saya ambil Handphone yang saya
letakan di kantong celana sebelah kiri dan melihat ternyata Ustad Yusron.
langsung saja saya menekan tombol warna hijau dan mengucapkan salam untuknya “
assalmukum tad, napi? saya awali percakapan via handphone itu,
dengan suara lembut dan sopan ia menjawab salam ku, “walaikumslam, saya udah di
kantor ini, antum di mana?” sambil sedikit bergegas karena klakson mobil yang
berada di belakang sudah mulai berbunyi “ana di jalan tad bentar lagi nyampe,
tunggu aja bentar” kayaknya dia paham kalau dalam perjalanan pasti tidak aman
untuk keselamatan jika melanjutkan pembicaraan lewat telpon, lalu ia akhiri
percakapan singkat itu dengan mengucap salam dan berpesan agar saya hati hati
di jalan.
saya paksakan
si kuning berlari lebih cepat lagi, karena takut membuat ia kecewa menunggu
lama, tak samapi 10 menit dari jarak kami ngomong, akhirnya sampai
juga di kantor wilayah kemenag NTB tepatnya di utara kantor imigrasi depan
sebelah selatan kantor DPRD NTB. Saya beranikan diri memasuki kantor yang cukup
mewah itu, dan bertanya di security yang bertugas hari itu, “
assalamualaikum pak, ruang tempat mengurus kepergian ke bandung untuk
pengembangan KTSP pondok pesantresn salafiyah di mana ya”? saya melihat ada tanda
Tanya di atas kepalanya “maaf pak, kalau yang itu saya tidak tahu, cobak masuk
aja ke dalam nanti bertanya di sana”?
PD saja saya
masuk walaupun sebenarnya tidak tahu mau masuk ke ruangan mana, tiba tiba
terbesit di kepala kalau teman sekepentingan denganku itu sudah sampai duluan
di sana, lagi lagi saya mencari kontak
ustad yusron dan menelponya, “ tad ana udah nyampe kantor ni, antum di mana?” Suara
angin ternyata mendominasi sehingga suaranya agak kabur, beberapa kali saya
bilang hallo namun suaranya tetap tak jelas, perlahan suaranya mulai
kedengaran, nampaknya tadi ia berjalan kearah bawah karena sebelumnya ia sudah
berada di tempat pengambilan surat tugas di lantai 2, “ saya
sedang menuju ke lantai satu ini” antum di mana”? hehe dalam hati
saya ketawa, ternyata bukan saya yang menghampiri tapi memang kebetulan saja
dia ke lantai satu dan akhirnya bertemu di sana.
“Ustad yusron
ya”? saya awali percakapan langsung untuk pertama kali dengannya dan
saling menjabat tangan, “nggih saya yusron” dia tak bertanya banyak tentang
saya saat itu, dalam hati saya bergumam, ooo ini toh namanya ustad yusron,
ternyata orangnya sudah lebih berumur dariku, tapi ia tetap sopan dan
menghormati saya meski umur kami jauh terpaut, itu lah yang membuat saya juga
segan dengannya.
Setelah
menaiki beberapa anak tangga, kami berdua akhirnya sampai di ruangan tempat
pengambilan surat tugas, salah seorang laki laki yang juga merupakan staff kantor itu member kami sebuah amplove berisi
tiket pulang pergi, dengan ternsenyum saya mernerima amplove itu, lalu kami pegi
meninggalkan ruang ber AC itu dengan tujuan bandung di benak kami. Di sela
perjalanan menuju tempat parkir, kami bercakap cakap sehingaa kami
sedikit saling tahu satu sama lain, tak terasa anak tangga yang kami lewati
sudah habis kami pijaki tempat parkirpun sudah terlihat di depan mata, saya tak bisa banyak ngobrol saat itu, dia pun
sama, akhirnya kami akhiri pertemuan sore itu, dengan berjabat tangan dan
berharap esok kami ketemu di bandara soekarno hatta di Jakarta, karena setelah
melihat tiket ku, ternyata jadwal kebarangkatanku berbeda dengan nya, saya lebih awal satu jam.
Malam terlihat
sunyi semua santri sibuk dengan buku yang ada di depannya, sesekali suara kodok
menghibur kami dengan suaranya yang menggelitikan telinga, tas ransel warna
hitam sudah siap saya bawa, karena habis
pulang dari kantor kanwil tadi sore saya langsung menyiapkan pakian dan kebutuhan yang
harus di bawa, rasanya pingin malam itu cepat cepat tidur supaya perjalanan
esok tidak ada kendala soal tenaga, tapi mata ini tetap tak bisa tertutup,
masih membayangkan gimana cara menaiki pesawa dan prosedur masuk bandara, karena
selama ini saya hanya tau teori kalau
berpergian harus melalui check in, dan menuggu di waiting room setelah mendapat
boarding pas di tempat check in.
Malam semakin
larut, saya paksakan mata ini terpejam dan melayang ke dunia kapuk, mimpi malam
itu tidak saya hiraukan. setelah pukul 04.00 salah seorang teman membangkukan
ku dari mimpi yang tak sempat saya ingat itu dan segera menuju kamar kecil.
******
BANDARA
INTERNASIONAL LOMBOK (BIL)
15 juni 2013
Jam menunjukan
pukul 04.15 pagi, mobil zebra hitam memecah keheningan malam dan meluncur ke
arah timur selatan menuju BIL (bandara internasional lombok) pak zul yang saat
itu mengendarai mobil terlihat pede sehingga larinya lebih kenceng dari
sebelumnya, berbeda dengan kawan sebelah kiriku, pak zun, pagi itu kelihatan
sangat capek sehingga tertidur pulas karena tadi malam tidak tidur menjaga
pondok di waktu malam (bolis), sekitar 45 menit mobil itu berlari kenceng, akhirnya
sampai juga di tujuan.
saya ambil tas ransel warna hitam bermerkan
shicata itu dan keluar dari mobil yang membawaku dari awal. tubuh ku
gerogi selain karena dinginnya malam, ini adalah awal saya mengikuti prosedur masuk bandara. Saya masih tetap berdiri di depan gate keberangkatan,
saya perhatikan layar TV yang entah apa namanya saya tidak tahu, yang jelas di sana tempat melihat
informasi pesawat yang akan berangkat dan yang akan datang. Sambil menunggu
kedatangan pak zul yang katanya mau parkir mobil.
saya lihat
dengan teliti dan menemukan informasi pesawat lion Air tujuan Jakarta akan
berangkat jam 06.55 dan sudah membuka check in. jam di handphone
menunjukan pukul 5.15 namun pak zul belum kelihatan melangkahkan kakinya,
setelah beberapa menit akhirnya dengan baju putih kaos kotak kotak, ia
menhampiri ku dengan senyum dan melepas keberangkatan ku. Saya cium tangan dua
orang kawan sekaligus guru ku itu dan beliau berpesan “baik-baik di sana,
jangan lupa telpon atau kasih kabar kalau sudah sampe Jakarta”.
Pagi itu masih
kelihatan gelap, mata saya masih tetap tertuju pada dua guru ku yang
melangkah ke arah tempat mobil diparkir lalu perlahan menghilang, setelah
mereka benar benar tidak kelihatan lagi,
saya baru masuk dan check in di dalam
bandara.
Setelah check
in dan mendapatkan boarding pass, saya langsung menuju kearah ruang tunggu pesawat,
sampai di sana pintunya masih tertutup, belum ada keliatan satu orangpun
petugas di sana, dua orang sebaya dengan ku terlihat gelisah di kursi luar
waiting room, ku hampiri dan bertanya, “ dari mana bang” dengan logat bimanya
ia menjawab “ dari bima bang mau ke Kalimantan tapi transit di Jakarta” saya
belum menanyakan mau kemana malah ia
sudah beri tahu saya tujuannya, belum
sempat saya bertanya kembali eehh malah
ia bertanya lagi, “kalau abang mau kemana” “ saya mau ke bandung,” sambil tersenyum ke arahnya,
setelah beberapa menit ngobrol dengan orang bima itu, seorang laki-laki berbaju
putih kelihatan tergesa-gesa menghampiri pintu ruang tunggu nampaknya ia sadar
kalau ia telat membukakan kami pintu sehingga membuat para penumpang banyak menunggu
di luar ruang tunggu, setelah ia berhasil membuka pintu, ayunan tangan kearah
semua penumpang ia lambaikan pertanda kami harus masuk, sebelum saya duduk manis di kursi ruang tunggu, saya harus melewati mesin pendeteksi dulu,
jangan-jangan ada sesuatu yang membuat bahaya orang banyak dari barang barang yang
saya bawa, Alhamdulillah setelah ia menggeledah jaket dan beberapa kantong
celana ia kemudian menyuruhku mengambil tas dan mempersilahkan duduk di kursi.
saya pandangi
setiap sudut ruangan itu, semua penumpang terlihat sibuk dengan bawaannya, tak
ada yang saling memperhatikan kecuali beberapa ibu ibu sedang asyik mengobrol
dengan kawan sebayanya, entah apa topik pembahasannya hingga ia tak hiraukan
penumpang lain yang berada di samping duduknya dari tadi.
sudah dua kali pengeras suara terdengar
menghimbau agar penumpang segera memasuki ruang tunggu, namun
kawanan ibu ibu tadi tetap tak menghiraukan suasana itu, hingga himbauan
terakhir dengan lancarnya sang petugas bandara melalui pengeras suaranya
menyuruh kami agar menaiki pesawat, Nampaknya jam sudah menunjukan pukul 06.00
WITA tepat dengan yang ada di tiket ku, dalam hati saya bersykur, kali ini pesawat Lion Air yang
terkenal dengan tradisi delay nya tak berlaku. setelah
himbauan tadi semua penumpang terlihat buru buru menuju gerbang masuk menuju
pesawat, sambil menyodorkan boarding pass dan di lengkapi dengan kartu
identitas (KTP/SIM) kami memasuki tubuh pesawat warna putih yang bertuliskan Lion
Air di tubuh sejajar dengan jendela pesawat.
DALAM PESAWAT
Setelah
memasukan tas ke dalam bagasi, saya lihat kembali boarding pass yang dari tadi
saya genggam dengan sangat erat, untuk meyakinkan diri kalau kursi yang akan saya
duduki benar dan sesuai dengan yang
tertera di kertas kecil warna putih itu, saya perhatikan baik baik di setiap
jejeran kursi yang sudah tertata rapi sambil mencari nomor yang pas dengan yang
sudah saya pegang, 7D. nomor ganjil yang
memiliki posisi agak depan dari bagian pesawat, membuat saya cepat menemukan
nomor yang sebentar lagi akan saya duduki karena memang saya memasuki pesawat melalui depan,
sedangkan penumpang yang seatnya di atas 20 memasuki pesawat melauli belakang
dan harus turun ke daratan bandara.
Tiga orang
pramugari berpakian batik kemerahan terlihat sibuk memeriksa setiap bagasi dan
menutupnya jika sudah penuh, penumpang kini sudah duduk rapi di kursinya masing
masing tak terkecuali saya , suara besi yang menjadi kepala sabuk pengaman
terdengar seperti lantunan lagu acapela yang pernah kami mainkan di pondok
bersama tujuh laskar cheng ho[2]. Kepala ku melirik teman di samping yang dari
tadi tertidur pulas, berharap ia memberi contoh cara menggunakan sabuk pengaman
pesawat itu, sedikitpun saya tak
mendapatkan kemahiran di sana, akhirnya saya nekat dan mencoba sendiri, saat sabuk itu saya
eratkan perutku terasa sedikit meronta
karena terlalu erat, saya panik tapi tak
berani memperlihatkan kepanikan ku, karena malu jadi bahan ketawaan seisi
pesawat, saya tahan sambil mencoba untuk
mengendorkan sabuk itu, setelah beberapa cara saya gunakan akhirnya, perutku kembali terasa
normal karena berhasil saya kendorkan.
Bunyi suara
mesin pesawat yang saat itu saya tumpangi mulai menggaung di telinga, perlahan
ia mulai berjalan menyusuri landasan. para pramugari dan pramugara mengambil
posisi untuk memberitahu kami cara menggunakan sabuk pengaman dan memakai
pelampung jika nanti penerbangan dalam keadaan tidak baik. para penumpang juga
di larang menghidupkan Handphone dan alat elektronik lainya karena dapat
mengganggu system selama penerbangan. mereka terlihat kompak dan
bersemangat, tak jarang ia mengembangkan mulutnya dan tersenyum manis membuat
ia kelihatan sempurna. Sambil pesawat mengambil ancang ancang untuk tinggal
landas ia manfaatkan waktu yang sedikit itu untuk breafing kami.
Pesawat itu
semakin bertambah kecepatannya, tak lupa pramugari sekali lagi mengingatkan
kami agar sabuk pengaman di gunakan, wussssss suara mesin pesawat itu
meninggalkan bandara dan terbang, huhhh dalam hati saya bergumam “jadi begini rasanya naik pesawat,
cukup ekstrim dan membuat sedikit tegang”.
********
DI BANDARA
INTERNASIONAL SOEKARNO-HATTA
Setelah
sekitar dua jam di atas udara bersama Lion Air, kini pesawat itu mendarat di
bandara soekarno hatta, namun dua puluh menit sebelum roda pesawat menyentuh
landasan, kami kembali di ingatkan untuk mengenakan sabuk pengaman, karena
biasanya saat pesawat landing saat itu pula sabuk pengaman di butuhkan.
Dari ketinggian kira-kira seratus kaki terlihat bangunan bertingkat menjulang
tinggi mengarah ke angkasa, air laut terlihat tenang dengan warna khasnya,
cuaca pagi itu juga sangat mendukung sehingga ibu kota dari udara kelihatan
sangat indah.
Roda pesawat
kini sudah menyentuh daratan bandara Soekarno Hatta, suara roda
pesawat yang di rem sangat menakutkan sebagian penumpang yang yang
belum terbiasa mendarat. Alhamdulillah setelah jarak beberapa meter, suara roda
itu tak kedengaran dan pesawat terlihat jinak oleh para pilot handal yang
membawa kami saat itu. Perlahan pesawat itu berjalan layaknya mobil yang
berlari di jalan raya hingga kami tiba di tempat penuruan penumpang.
Tas ransel
yang di dalamnya berisi pakian sudah di pundakku, terlihat penumpang berdesak
desakan mengantri tak tahan ingin cepat keluar dari badan pesawat, karena
posisi ku lumayan dekat dari pintu keluar membuat ku tak banyak menghabiskan
tenaga mengantri keluar. Setelah berhasil keluar dari badan pesawat, saya ambil handphone di kantong sebelah
kananku yang dari dua jam yang lalu saya switch off atas perintah dan keamanan
penerbangan, lalu menghidupkannya kembali, Beberapa sms yang masuk tak saya
hiraukan. yang pertama kali saya lakukan
adalah mencari kontak dua teman bima ku yang barusan saja saya kenal dan mengajak mereka jalan bareng menuju
terminal kedatangan penumpang, Karena jujur saja ini adalah kali pertama saya menginjak kan kaki di Jakarta, jadi semua
terlihat awam dan tentunya saya butuh
kawan untuk mengobrol. Saya tak mikir
panjang lagi, saya tekan tombol memanggil setelah nama arief saya temukan di kontak handphone. Sambil menengok
mereka dari jendela atas, Hanphone tetap saya posisikan di telinga sebelah
kiri, mereka baru saja keluar dari jebakan antrian panjang keluar pesawat namun
panggilan ku tak juga di angkat, ia kelihatan sibuk dengan barang bawaanya
hingga tak sempat mengambil Handphone yang entah di mana ia taruh. Saya paham dengan kondisinya dan
memutuskan untuk memberanikan diri di mana gerbang yang akan ia
tuju. Bermaksud bertemu di sana. Ternyata tuhan tahu bagaimana kami saling
membutuhkan sehingga kami di pertemukan di gerbang lantai satu menuju terminal
IB.
Ia melambaikan
tangan ke arahku, tapi saya tak membalas
dengan hal yang sama hanya membalasnya dengan senyum. dengan logat khas bimanya
ia awali percakapan seasion kedua setelah pertemuan pagi di BIL, “ apa abang
langsung berangkat ke bandung” ? nampaknya abang adalah panggilan khas kota
bima yang sering ia lontarkan ketika menyapa orang yang lebih tua darinya, “tidak
saya mau tunggu teman dulu” kataku
sambil berjalan beriringan keluar dengannya, di terminal saya baru tahu setelah melihat tiket transitnya
kalau tujuan aslinya adalah Kalimantan, tapi transit di Jakarta. Belum sempat
kami sampai di pintu kedatangan Seorang petugas bandara sambil melambaikan
tangannya menginstruksikan penumpang yang transit untuk segera di data sesuai
dengan tujuannya. Ia tak memperhatikan orang yang menggunakan sergam merah itu,
perhatiannya ternyata cukup focus ke arah ku. Untungnya saya tahu kalau ia juga salah satu penumpang yang
transit di sana, saya ambil tiketnya dan mendafarkan namanya, sambil mengerutkan
dahinya petugas itu bertanya “ apa ada barang yang di bagasikan ”? saya tidak tahu persis jawabannya karena itu bukan
tiket milikku, karena ia berada dekat di sampingku dan mendengar pertanyaan
yang di lontarkan sepontan saja ia menjawab, “ ia ada” petugas
itu lalu melanjutkan pertanyaan yang berbeda, “ barang
bagasinya mana”? kali ini muka cerianya tiba tiba berubah menjadi expersi yang
tak pernah saya ingin lihat,
wajahnya tiba tiba merah dan ia kelihatan panic, ternyata bagasinya
belum sempat ia ambil, saya yang di
belakangnya berdiri sambil menekan nekan tombol handphone sedang chating dengan
kawan ku di Lombok sudah tahu kenapa ia pasang expresi seperti itu, saya akhirnya mengambil alih pembicaraan dan
bertanya, “kalau bagasi yang belum sempat di ambil, ngambilnya di mana mba”?
dengan senyum ia menjawab “ mas harus balik lagi ke terminal di mana mas turun
dari pesawat”. Waduhhh dalam hati saya terkejut, bagaimana tidak jarak
terminal tempat saya turun dengan tempat
saya berdiri saat ini lumayan
jauh, kira kira 500 meter yang di tempuh sekitar 15 menit dengan jalan kaki, saya
sembunyikan keluhan hati itu dan
mengajaknya kembali ke terminal yang di maksud.
Langkah kakiku
sengaja saya percepat, karena takutnya nanti teman yang saya tunggu malah sudah
datang dan pergi meninggalkan ku sendirian. Sampai di terminal ia engos engosan
nampaknya ia tidak biasa jalan secepat
saat itu. Tanpa saya pedulikan keadaanya karena yang terpenting adalah
barangnya ia temukan dan terenyum kembali, saya beranikan diri mengahadapi
salah satu petugas bandara saati itu dan bertanya bagaiamana mengambil bagasi
yang tak sempat di ambil ketika turun dari pesawat tadi, dengan sebuah HT di
tangannya ia kelihatan sangat sibuk sedang berkomunikasi dengan sejawatnya,
sehingga ia tak menggubris pertanyaanku, tanpa putus asa saya ulangi
pertanyan yang sama dan sedikit perlembut bahasanya. Akhirnya ia pun tersadar
dan mengarahkan kami sampai akhirnya kami menemukan barang itu.
Sudah hampir
satu jam kami berkeliaran tanpa tahu arah namun punya tujuan yang jelas,
kejadian itu membuat kami perlahan menjadi sangat dekat layaknya sahabat yang
sudah lama saling mengenal. Setelah barang itu kini berada ditangannya,
Akhirnya tibalah saatnya kami harus berpisah dan hari itu pertemuan pertama
sekaligus terakhir kami sampai sekarang.